JAKARTA, Berita HUKUM - Diskusi bulanan terbuka dengan tema "Pancasila, Terorisme, dan Proxy War,' yang diadakan oleh Manilka sebagai lembaga survey dan konsultan politik maupun bisnis yang bekerjasama dengan Komunitas Balairung Pancasila digelar di bilangan Kemang, Jakarta Selatan pada, Selasa (13/6).
Diskusi terbuka dengan pembicara yang hadir; Romo Syafeii dari Partai Gerindra sebagai Komisi III DPR RI, Mochtar Pabotinggi sebagai Peneliti Utama LIPI, Rocky Gerung sebagai Dosen Filsafat UI, Stepi Anriani, S.IP, M.Si sebagai Pakar Intelijen, Herzaky M. Putra S.Sos, MM sebagai Jubir Komunitas Balairung Pancasila dan Wakabid Iluni UI serta dengan
moderator Dani M. Akhyar menjabat CEO Manilka.
Seperti diketahui, memasuki usianya yang ke-72, Pancasila kini kembali ramai diperbincangkan di ranah publik, bahkan menjadi 'trending' topik baik di media sosial beriringan kata NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, bahaya intoleransi, bahaya paham radikal, dan terorisme.
Anggapan tertentu merasa adanya semacam arus tertentu semakin menguat akan Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI berupa semangat intoleransi dan bahaya terorisme. Namun, tidak sedikit yang melihat ini bagian dari proxy war kekuatan-kekuatan luar yang perlu diwaspadai.
Berkaitan dengan itu, Herzaky M. Putra S.Sos, MM, selaku jubir Komunitas Balairung Pancasila menjelaskan bahwa, Manilka bekerja sama dengan Komunitas Balairung Pancasila berupaya mendiskusikan guna membedah dan meluruskan kembali pemahaman yang kurang tepat terhadap apa itu nilai-nilai Pancasila, semangat Bhinneka Tunggal Ika, toleransi dan seperti apa yang berdasar Pancasila, bahaya terorisme terhadap aktualisasi nilai-nilai Pancasila dan apakah ada usaha memecah belah komponen bangsa sebagai bagian dari proxy war.
Komunitas Balairung Pancasila merupakan komunitas yang dibentuk sekelompok anak bangsa sebagai wahana pertukaran gagasan, penyebaran gagasan, dan penerapan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai jatidiri bangsa dalam kehidupan sehari-hari.
Herzaky menerangkan tujuannya dibentuk komunitas Balairung Pancasila ialah mencoba menggali dan meluruskan pemahaman mengenai Pancasila melalui kelompok kelompok diskusi, terutama di kalangan muda, menggali bentuk-bentuk pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, membuka dialog dengan berbagai pihak yang memiliki perbedaan penafsiran mengenai Pancasila, menyebarluaskan pemahaman dan bentuk bentuk pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari hari ke berbagai kalangan, terutama kalangan muda, dan mengajak kaum muda dan benar benar terlibat dalam implementasi nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari hari.
"Langkahnya baik itu dengan dialog integratif dan penyebaran gagasan melalui berbagai platform, sebagai sarana bertemu berbagai lapisan dan kelompok masyarakat, kemudian dengan kerja nyata melalui bakti pada masyarakat menengah ke bawah dan tertinggal, dengan fokus pada perbaikan sanitasi, rumah baca, dan perbaikan fasilitas umum, maupun kegiatan kegiatan lain yang dirasa perlu," jelas Herzaky.
Sementara, Anggota DPR RI dari Komisi III fraksi Gerindra, H.R Muhammad (Romo) Syafeii selaku narasumber yang hadir menyampaikan bahwa, kini di parlemen pembahasan RUU Terorisme sejauh ini sudah sebanyak 66 ketok palu, atau telah hampir 60 persen, sampainya mengutarakan bahwa RUU Terorisme ini merupakan inisiatif Pemerintah Indonesia.
"Kontennya, meminta legalisasi kewenangan, baik itu dalam penangkapan, penanganan, dan penindakan," tukas Romo Syafeii, seraya meneruskan, kalau UU Terorisme tersebut dibahas bermula pada peristiwa 'ledakan' Thamrin dahulu.
Namun sayangnya, sambungnya kembali, saat akan dibahas muncul peristiwa 'Siyono', hingga 'terkoreksi' dengan peristwa yang penuh kontroversi itu.
Akhirnya, kemukanya, kalau Pansus sepakat mengkonstruksi kembali UU berdasar spirit, perlu penegakkan hukum, penghormatan HAM, serta spirit penindakan terorisme.
"Kesemuanya mencakup.tiga (3) bahagian besar, yakni pencegahan, penindakan, penanganan korban peristiwa teroris," jelas Syafeii.
Perlu diketahui, untuk penindakan teroris Kepres 46/2010, diperbaharui Kepres 12/2012, dimana berkoordinasi dengan kombinasi penanganan dengan Kementerian dan Lembaga terkait.
Lebih lanjut, Romo Syafeii mengulas bahwa praktiknya penanganan teroris, dengan penindakan, penanganan teroris Kepolisian yang ujung tombaknya densus 88. "Sedangkan, pencegahan yang diinginkan bukan wilayah Polisi. Namun, di kalangan sipil," ujarnya, semisalnyai dilibatkan lembaga atau institusi Pemerintah seperti Kemensos, Kemenag, Kementerian Tenaga Kerja, ataupun Kementan.
"RUU yang diajukan pemerintah, dimana pemerintah sangat berkeinginan keterlibatan TNI dalam penindakan teroris semisalnya terkondisi hijau-kuning-merah, dimana, hijau (Polisii), Polisi-TNI (kuning), dan merah (Kerjasama Polisi-TNI-Lembaga terkait)," ungkapnya kembali
Perlunya pembahasan kedepan, kemukanya lebih lanjut, seperti untuk pengamanan Kepala negara, Wakil kepala negara, dan perliindungan warga negara di LN. "Selain itu Kapal laut, perbatasan ZEE, atau karena eskalasi peristiwa terlalu tinggi, bak gunung, dan lautan," terangnya.
Dalam hal penanganan, Romo juga menjelaskan perlunya melibatkan Kemensos, Kemenkes, dimana dalam penanganan terhadap korban peristiwa teroris. "Paling penting saat ini kesepakatan definisi 'teroris'," paparnya.
Selanjutnya, dirinya mengutarakan mengapa usulan RUU Terorisme ini makin menguat? "Karena sepanjang beberapa waktu ini, seperti ibaratnya yang terjadi ibaratnya pembantaian umat Islam," ungkapnya.
Perlu diketahui, untuk Kemenkes, dan LPSK bila disesuaikan dengan Undang undang nomor 31 tahun 2013 memiliki tupoksi menangani korban teroris.
"Teroris ini akan dipisahkan dimana masuk dalam ranah manapun, tidak terkait dalam ranah pidana apapun. Karena bila tidak dilakukan, akan mengganggu konsesi dalam bernegara, baik berdasarkan Pancasila dan UUD45, NKRI, dan Bhineeka Tunggal Ika," tukasnya.
Terlebih lagi, sambungnya mengemukakan beberapa respon beberapa waktu ini terkait dengan issue intoleran, perbedaan, bahkan kebhinekaan acap kali digemingkan. "Pancasila bukan sebuah nilai yang diajarkan, secara akademiktik, dan teoritik maupun diajarkan," paparnya.
"Soalnya, Pancasila ini merupakan moto hidup yang sudah ada dan terkristalisasi dalam kehidupan bangsa dan negara ini semenjak dahulu kala," tandasnya.
"Berbahaya, seoalnya apabila ada stigma pada kelompok Islam dimana tidak Pancasila, Radikal apalagi isue isue terorisme," tegasnya mengingatkan.
Soalnya, menurut Romo Syafei bahwa gerakan terorisme berkembang atas reaksi masyarakat terhadap Pemerintah. "Dimana mengajukan kesejahterahan, keadilan," jelasnya.
"Bila dirasa tidak hadir, kita khawatir jumlahnya semakin meningkat. Karena penanganannya diskriminatif, tidak adil dan akan terus mengajukan penanganan, seperti yang terjadi di Philipina, Bangkok," ulas Romo Syafei.
Kemudian Romo Syafei menjelaskan, seraya memberikan permisalan, "seperti baik itu agen-agen yang belum terungkap, dimana tembak sana tembak sini, bahkan saling membunuh terus. Dalam melakukan pembunuhan saja, sejatinya, tidak ada agama yang mengajarkan (membunuh) masuk sorga," jelasnya.
"Ini lagi lagi sangat berbahaya, bila muncul stigma terhadap kelompok Islam khususnya intoleran, tidak Pancasilais dan sebagainya bahkan issue2 terorisme," ungkapnya.
"Yang mau dihabisi adalah isme isme ini, bukan teroris nya. Apalagi yang berani unjuk dengan 'telanjang' karena bisa menimbulkan reaksi-reaksi yang ada," jelasnya.
"Penanganan teroris berdasarkan Pancasila, UUD45, Bhineeka Tunggal Ika dan NKRI. Hukum kita berjalan pada rel nya kalau 'state oriented'. Karena kalau sudah 'Government Oriented' ini akan mengancam Pancasila, UUD45, dan Kebhinekaan," ujarnya, seraya memungkas pandangan singkatnya.(bh/mnd)
|