JAKARTA, Berita HUKUM - Acara diskusi publik yang diselenggarakan Kaukus Muda Indonesia (KMI) bertema,"Isu Kebangkitan PKI : Realita atau Propaganda?," yang diadakan di Hotel Grand Sahid, Jakarta Selatan pada, Selasa (6/3) usai diadakan pasca acara berujung ricuh dari sekelompok pemuda yang tidak menginginkan deklarasi dilanjutkan.
Adapun giat diskusi, yang pembukaan acara sesi diawali Rouf Qusairi, Sekjen KMI sempat menyampaikan di awal diskusi, "Diskusi soroti belakangan ini, dimana pada tahun 2018 di beberapa daerah terjadi kekerasan dan dialami menimpa para tokoh agama, ini dirasa menyertai yang dialami dari rangkaian pemilu itu," paparnya, dihadapan para hadirin terundang dan rekan aktivis, serta awak media yang hadir.
Satu sisi, sambung Rouf, peristiwa terjadi simultan beriringan, dan sistematis. Maka itu, berbagai kalangan mengukur peristiwa ini menjadi bagian di suatu akhir. "Salah satu juga beriringan issue kebangkitan PKI. Maka, upaya jernihkan pemikiran, apakah merupakan propaganda kelompok tertentu dalam kontestasi politik terjadi?," harapnya, partisipasi masyarakat positif, bukan destruktif.
"Penjelasan ahli diperlukan, kesepakatan sebagai resultante, momen pemilu hal lumrah dalam sebuah demokrasi," tukasnya.
Bukan, malah ungkit peristiwa yang tidak meng-enakan, soalnya, PKI merupakan bagian bangsa, tidak bisa dipungkiri, maka kedepan diharap mampu bercermin dari peristiwa kelam/kelabu masa lalu,
Nampak pantauan pewarta BeritaHUKUM.com saat diskusi berlangsung sebagai narasumber; Kivlan Zein sebagai aktivis politik serta mantan Jenderal (purn), Dr. Koeswoyo Giri Atmaja, Bonar Tigor Naipospos (Setara Institute), dengan dimoderatori oleh Luluk Lukmiati yang juga dihadiri oleh mahasiswa baik dari kampus UBK, UMJ, Unindra, Uhamka, dan beberapa lainnya.
Luluk, selaku moderator membuka sesi tanya jawab yang gelontorkan pertanyaan, beberapa bulan terakhir ssue kebangkitan PKI muncul, apakah realita atau propaganda, soalnya makin santer, dimana ini tahun politik, Pileg, dan akan datang Pilpres.
Lanjutnya, yang jadi tanda tanya bagi masyarakat, apakah ada upaya aksi balas dendam dari keluarga PKI ke Ulama dan lain sebagainya? Apakah mereka ada KGB (Komunis Gaya Baru), demikian Luluk katakan.
"Susah buktikan mana hoax dan yang benar, diperlukan check dan ricek," kemukanya memoderatori sesi diskusi.
Sementara, Kivlan Zein menyampaikan, sedari awal sesi diskusi guna menjernihkan pemikiran dirinya selaku pribadi yang netral, bukan atas namakan parpol, bukan pengurus parpol, danjuga bukan di dalam lingkaran dan pengaruh politik, ungkap Kivlan.
"Saya tidak bawa bendera PAN, PKS, Gerindra. Banyak orang katakan saya Gerindra, karena dekat dengan Prabowo," jelasnya.
"Saya bukan orang Prabowo. Sebagian orang bilang saya orangnya Prabowo karena dianggap bela mati matian. Dia junior saya, dia 73, saya 71. Saya plonco dia, saat itu," menjelaskan.
"Karena tentara, calon Presiden pasti saya dukung. Kalau ada calon lain, saya akan pilih yang lain sajalah. Kalau cuma Prabowo, saya bukan orangnya Prabowo. Saya adalah saya," kata Kivlan, sampaikan dirinya memiliki patron sendiri, untuk baktikan dan berjuang bagi bangsa Indonesia.
Situasi sekarang, dimana sejarah dimana Komunis ini melakukan kegiatan yang selalu berhadap hadapan dengan umat Islam. "Dimana pada tahun 26, yang dihabiskan adalah pondok-pondok pesantren, Tahun 48 NU dihabiskan, tahuin 1965 juga," jelasnya.
"Komunis masuk ke Indonesiaa, tidak ada massa, dan menyusup di PSI, dimana masuk pada 1926, akhirnya pecah ada Islam Merah dan Putih. Mereka berikan tanah, yang mana dikuasai oleh pondok pesantren, tahun 48 diulangi lagi, dan 65 begitu juga," ungkapnya lagi.
"45-65 kacau balau, karena ada orang komunis. Mereka tidak ikut Proklamasi, tidak ada sejarahnya dalam melahirkan bangsa Indonesia. Datang, hanya ingin berkuasa," paparnya.
Militer berperan, dimana pada tahun 65 militer kalah, tahun 98 militer kalah. Maka itu guna pelurusan seejarah, dimana anak-anak saya ada di dalam ini. Mereka sekarang sudah mau masuk dalam sebuah lini, mereka masuk ke dalam sebuah partai, Data-data ada di saya kok," ungkap Kivlan lagi.
"Tahun lalu mereka rapat di Jakarta, bahkan mereka merapat di Jogyakarta, untuk mencabut Supersemar. Mereka bilang tidak sah, sudah diadopsi," paparnya.
Kemudian, sambung Kivlan seperti fakta Komnas HAM yang memberikan keputusan bahwa, mereka adalah korban dari pelanggaran HAM. "Sebentar lagi mereka minta Rekonsiliasi, isitilahnya 'kerukunan nasional. Nanti panitianya 10, dimana 7 dari mereka tiga hanya dari kita. Sudah ajukan ke Presiden," tudingnya.
"Berarti TAP MPR salah, para jenderal salah, NU salah. YPK 65 itu mereka ngotot terus, militan, merasa gak salah. Orang gak pernah berjuang untuk Indonesia, gak pernah ikut sumpah pemuda, proklamasi, datang dari Moscow," ungkap Kivlan.
"Setara yang selalu pikiran-pikirannya angkat HAM, dan menyatakan mereka tidak bersalah," cetusnya.
Pertemuan mereka di Cuba tahun 1965, kemudian pertemuan di Danau Angsa bersama Aidit, gak sabar kemudian mereka kudeta. Yang perbaiki Soeharto selama 32 tahun, setelah Reformasi, tentara mundur, tidak ada lagi.
Berhadapan dengan mereka, kemuka Kivlan baik bendera PKI mereka bawa, dari Cawang, UKI, kelompok Prodem, afiliasinya ke Komunis. "Saya masuk dan merapat ke tempat mereka, intel masuk. Ini fakta, sekarang pertemuan lagi untuk pertemuan tgl 11 nanti di Jogya. Untuk menghapuskan TAP MPR tahun 68, dan supersemar tidak ada lagi," jelasnya curiga.
"Hilang dimana nih surat Supersemar asli, tapi yang ada di buku putih sekneg ada. Bukti buktinya ada kok," tambahnya.
"Dengan demikian dengan data dan fakta mereka berusaha mencabut, untuk Komunis tidak boleh tampil, maka mereka akan berupaya mencabut TAP MPRS ini," jelasnya.
"Kok sudah masuk disana? Cara mereka masuk ke dalam MPR, DPR, Birokrat, baik bisa tingkat Kabupaten, Lurah, Kota, Gubernur, Negara bisa jadi. Ucapan mereka ingin mencabut TAP MPRS itu, Bambang itu. Lalu Eva Kusuma Sundari, terkait dengan kegiatan pengkaderan di China, padahal negeri itu diktator, Komunis," papar Kivlan.
Lanjutnya, bahkan adanya juga partai lain, seperti Golkar dan Nasdem dimana ikut ikutan ingin belajar juga saat pengkaderan.
Sedangkan, Bonar Naipospos dari Setara Institute mengutarakan kalau ajaran Marxisme, kerangka pemikiran bagi kelompok tertentu yang merasa bisa menyelesaikan permasalahan di Indonesia, Justru di kalangan anakmuda.
"Mereka bukan keturunan anak PKI, apakah mereka menjadi ancaman 'security trap' Nothing. Issue ini digoreng dan dimainkan hanya di tahun Politik. Hasil riset Saiful Mujani akhirnya katakan itu hanyalah permainan politik, dan tidak pernah terjadi," papar Bonar.
"Bila tidak ada realitasnya, maka masyarakat akan tidak percaya. Muak dan mual, dimana dibahas dan diangkat tidak ada faktanya, maka akan masyarakat menjadi resisten, imune, apalagi dengan perkembangan jaman saat ini yang sudah internasional," tambahnya.
"Kini, mau gak kita menggunakan pandangan, paradigma lebih jernih. Rekonsiliasi Kultural harus saling menjaga dengan erat," harap Bonar.
"Condong pada issue, dimana masyarakat tidak respon. Saya salut konsistensi pak Kivlan, dan disitulah beliau memainkan perannya," tuding Bonar.
Kemudian, Dr. Koeswoyo Giri Atmaja yang turut hadir menjelaskan kalau belakangan, dan tak bisa digeneralisir, soalnya sehubungnya dengan pernyataan Kivlan yang sempat disebutkan dendam "Ideologisasi"
"Realitas, apakah sulit untuk keluar dari ideologisasi dan merubah orientasi berpikir. Apalagi sudah sepuh," tanya Koeswoyo.
"Yang terkuak dalam posisinya adalah duduk dalam realitas untuk menguasai kekuasaan," katanya.
"Keluarga saya PKI, sudah naik haji, namun tidak pernah berkehendak memperoleh kekuasaan. PKI tidak mungkin lagi bisa bangkit," paparnya.
Realitas nasional sama sekali tidak mendukung, apalagi kekuatan yang sudah siap-siap menghantam, tudingnya.
Ini jelas hanya merupakan baginya politik propaganda, membangun 'common enemy', dimana dalam upaya membangun Historis buruk mengubah PKI., untuk disulut menghadapi kekuatan yang ada.
"konstelasi kekuatan politik, dimana propaganda membangun common enemy dan disatu sisi untuk mencairkan agar hal tersebut tidak terjadi," ungkap Koeswojo melanjutkan.
"Kekuatan yang ingin imbangi Pemerintah, dimana baik itu issue PKI, yang ditangkapi. Dibuat hanya untuk degradasi terhadap pemerintah, itu tak bisa kita ingkari," paparnya.
"Inilah politik praktis, dimana propaganda tidak bisa didasari tanpa fakta data, sebaiknya tidak usah di gulirkan. Maka itu, sebagai masyarakat harus cerdas dan bisa jernih melihat persoalan agar bisa memberikan keputusan secara benar," harapnya.
Tak dipungkiri memang, sambungnya mengulas kalau politik aliran masih ada, dimana baik penelitian melihat dengan muncul ICMI, kekuatan sekuler maka aliran itu hidup lagi. "Politik Aliran eksis, dan muncul di permukaan, maka pola lama bisa dihidupkan lagi, Karena secara konsep belum tuntas," katanya.
"Jargon politik no ekonomies, namun di bawah permukaan masih kuat," tutupnya.(bh/mnd) |