JAKARTA, Berita HUKUM - Front Pancasila menyatakan akan menolak rencana simposium "Membedah Tragedi Berdarah 1965, Pendekatan Kesejarahan" yang akan dilangsungkan pada, Senin (18/4) dan Selasa (19/4) di hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Penolakan disampaikan ketua Front Pancasila, Shidki Wahab, Sabtu (16/4) di Graha 66, Cikini Jakarta Pusat.
Menurut Shidki, simposium ditenggarai akan menghidupkan kembali paham komunis yang pernah hadir di Indonesia yang menyisakan lembaran kelam, yang akan merubah dasar negara, yaitu Pancasila, melalui kudeta G30S/PKI.
"Simposium itu bertentangan dengan Pancasila, UUD45, TAP MPRS no.XXV/MPRS tahun 1966 Tentang Larangan Partai Komunis Indonesia dan underbouwnya, serta ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme, TAP MPR RI nomor 1 tahun 2003, Undang-undang nomor 27 tahun 1999 Tentang Perubahan KUHP, berhubungan dengan Kejahatan dan Keamanan Negara, maka ajaran Komunis dalam segala bentuknya dilarang di Republik Indonesia," papar Shidki Wahab.
Shidki menambahkan, pihaknya telah memantau pergerakan komunis beberapa tahun terakhir melalui berbagai kegiatan, yang diagendakan pihak anak anak eks PKI. "Kami memantau mereka, karena banyak sekali isi sejarah yang mereka benturkan. Terlebih setelah era reformasi," jelas Shidki.
Sementara, Peringatan untuk segera membatalkan simposium turut disampaikan pula oleh Ketua Forum Patriot Proklamasi Indonesia bersama Aliansi Gelora Bung Karno, Fahri Lubis.
Ia menyampaikan peringatan, supaya segera membatalkan acara simposium PKI pada hari Senin esok di hotel Aryaduta, Jakarta, sehubungan dengan sifat dan jiwa Pancasilais serta kesetiaan pada UUD 1945 asli dan Pancasila.
"Kami sudah berupaya memberi toleransi pada anak-anak eks PKI, serta diberi haknya hidup berdampingan bersama. Saat ini diantara mereka berposisi ada di legislatif, maupun ada di eksekutif. Namun, ternyata masih tidak puas juga dan ingin tetap membangun lagi kekuatannya yang diindikasikan mau menghancurkan ideologi bangsa Pancasila, serta ingin merobek-robek Persatuan dan Kesatuan yang terjalin," papar Fahri menjelaskan.
Fahri memberi contoh, pada tahun 1948 pemberontakan pertama komunis terhadap Republik, pemenggalan peltu Sudjono di Bandar Besi Medan. "Peristiwa kejadian 1965 itu adalah merupakan akumulasi atas kekecewaan terhadap orang PKI yang melakukan pembunuhan," sebut Fahri.
"Sejatinya, kalau mau adil buka pelanggaran HAM semuanya, jangan hanya dari yang 1965 saja."
Maka kami akan melakukan aksi pembakaran bendera PKI di sana, soalnya PKI tidak mengakui Pancasila sebagai ideologi, mereka hanya mengakui kesejarahan," pungkas Fahri.
Berikut ini sejumlah alasan penolakan Simposium ;
1. Simposium dilaksanakan dengan tujuan mendapatkan legitimasi bahwa PKI adalah sebagai korban pelanggaran HAM.
2. Simposium dimanfaatkan untuk menekan pemerintah agar menyatakan permintaan maaf selanjutnya memberikan rehabilitasi dan kompensasi terhadap eks PKI.
3. Simposium dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali paham Komunis yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia dan UUD1945.
4. Simposium hanya akan membuka luka lama sejarah sehingga akan menimbulkan perpecahan baru diantara anak-anak bangsa.
5. Rekomendasi Telah berjalan secara natural, dan tidak dapat dipaksakan, sehingga para anggota PKI telah dapat hidup damai dan bermasyarakat.
6. Hak hak politik dan perdata para anggota PKI dan keturunan telah dikembalikan terbukti dengan dihilangkannya tanda ET di dalam KTP.
Selain itu, pada saat ini banyak kader PKI dan keturunannya yang telah menjadi anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten, dan menjadi Kepala Daerah di berbagai wilayah di Indonesia.(bh/mnd/rar) |