JAKARTA, Berita HUKUM - Berbagai organisasi masyarakat sipil di Asia mengadakan aksi secara serentak di 13 kota di Asia hari ini untuk memprotes peningkatan investasi dan pembangunan proyek-proyek gas di seluruh wilayah di benua ini.
Aksi ini juga ditujukan untuk mengingatkan pemerintah agar mempercepat transisi menuju energi bersih, terbarukan, dan berkeadilan. Aksi serentak digelar di Jakarta, Tokyo, Incheon, Mandaluyong, Chiang Mai, Hanoi, Dhaka, Delhi, Kolkata, Kathmandu, Lahore, Karachi dan Kolombo sebagai bagian dari mobilisasi se-Asia untuk kampanye yang disebut sebagai: Don't Gas Asia. Aksi unjuk rasa bertepatan dengan Pertemuan Tahunan Dewan Gubernur Bank Pembangunan Asia (ADB) ke-56 yang berlangsung pada 2-5 Mei 2023 di Incheon, Korea Selatan.
Pemilihan momen yang bertepatan dengan Pertemuan Tahunan Dewan Gubernur Bank Pembangunan Asia (ADB) ini dimaksudkan untuk memprotes sikap ADB yang terus membiayai berbagai proyek gas dan LNG meskipun menyatakan komitmennya untuk mendukung transisi rendah karbon di Asia-Pasifik, pun juga sebagai seruan protes kepada pemerintah Jepang dan Korea Selatan sebagai salah satu investor gas dan LNG terkemuka dunia.
Jepang adalah salah satu pemegang saham terbesar dan memegang kursi kepresidenan ADB sementara Korea Selatan menjadi tuan rumah pertemuan Dewan Gubernur ADB tahun ini.
Proyek infrastruktur gas baru di Asia saat ini diperkirakan mencapai lebih dari US$350 miliar, jumlah ini tiga kali lipat perkiraan investasi untuk Eropa. Investasi besar ini konon ditujukan untuk memungkinkan ekonomi negara-negara Asia termasuk China, Filipina, dan Vietnam dan Indonesia untuk mengurangi penggunaan batu bara.
Namun berbagai analisis [1] menemukan bahwa perluasan LNG telah eksisting saat ini dan yang direncanakan di masa mendatang, justru akan meningkatkan emisi pada tingkat yang berbahaya. Hasil penelitian [2] juga menunjukkan penggunaan gas fosil untuk pembangkit listrik, pemanas pada gedung, dan industri memberikan kontribusi kematian dini yang hampir sama dengan penggunaan batu bara di 96 kota di seluruh dunia pada tahun 2020.
Komponen terbesar dari gas fosil adalah metana, gas rumah kaca terkuat kedua setelah karbon dioksida dalam hal seberapa besar kontribusinya terhadap pemanasan global.
Padahal di sisi lain, listrik berbasis energi terbarukan kini menjadi pilihan daya termurah di sebagian besar wilayah. Menurut penelitian [3], energi terbarukan sudah menjadi opsi default untuk penambahan kapasitas di sektor ketenagalistrikan di hampir semua negara dan mendominasi investasi saat ini.
Sebanyak 90 persen dari semua upaya dekarbonisasi akan memerlukan pemanfaatan energi terbarukan melalui pasokan listrik yang murah, peningkatan efisiensi, penerapan elektrifikasi, dan penggunaan sumber energi yang berkelanjutan. Namun, keberhasilan pencapaian tujuan iklim pada tahun 2050 akan sangat tergantung pada langkah-langkah yang tepat yang diambil pada tahun 2030.
Di Indonesia sendiri, industri Gas dan LNG tidak lepas dari problem pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan. Dari genosida di Aceh hingga ekosida di Sidoarjo, Jawa Timur trend perusakan mengiringi berbagai proyek gas di Indonesia. Tentu masih segar dalam ingatan kita, bagaimana pada 29 Mei 2006, operasi gas yang dikerjakan oleh PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur memicu tragedi masif bernama "Lumpur Lapindo" yang menenggelamkan wilayah seluas 900 hektar dan mengusir lebih 100 ribu jiwa dari kampung-kampung mereka.
Pada akhir tahun lalu mata kita juga dibukakan pemberitaan media yang merujuk pada dokumen yang berisi kesaksian sebelas korban dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh perusahaan minyak dan gas terbesar di Amerika Serikat, ExxonMobil, di Aceh, yang dirilis ke publik oleh Pengadilan Distrik Washington D.C pada pertengahan Agustus 2022.
Konflik lain terkait industri gas dan LNG di indonesia menyeruak di Bali, saat rencana pembangunan Terminal LNG di kawasan Sanur, ditolak warga karena mengancam kelestarian hutan mangrove, terumbu karang dan kawasan suci warga.
Dukungan negara-negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan, ataupun institusi pembiayaan seperti ADB untuk ekspansi LNG juga akan menimbulkan risiko yang cukup besar terhadap dekarbonisasi, keamanan energi, dan perlindungan lingkungan.
Dengan dalih "keamanan energi" saat ini mereka terus mempromosikan penciptaan dan perluasan pasar LNG di Indonesia, membuat riset dan peta jalan energi di Indonesia dan mengumumkan bantuan keuangan dan pengembangan sumber daya manusia sebesar puluhan miliar dolar untuk proyek-proyek LNG.
Padahal mempromosikan gas, yang merupakan bagian dari bahan bakar fosil di Indonesia tidak hanya bertentangan dengan langkah-langkah pencegahan pemburukan dampak perubahan iklim, tetapi juga membuat pasokan energi semakin tidak stabil mengingat harga gas yang fluktuatif.
Statistik Migas 2021 yang dikeluarkan Kementerian ESDM menunjukkan bahwa produksi gas bumi selama periode 2016-2021 menunjukan tren pertumbuhan negatif, pada tahun 2016 produksi gas bumi sebesar 1.403 Milion Barrel Oil of Equivalent Per Day (MBOEPD) menjadi 1.178 MBOEPD di tahun 2021.
Hal yang sama terjadi dengan lifting gas bumi (hasil produksi siap untuk dijual) mengalami penurunan dari 1.188 MBOEPD menjadi 995 MBOEPD. Dengan produksi dan cadangan gas yang semakin menurun, mendorong Indonesia semakin tergantung pada gas akan menjebak Indonesia pada situasi yang rentan dan semakin jauh dari kemandirian energi.
Dengan berkaca pada situasi ini, promosi gas dan LNG serta hal-hal turunannya seperti penggunaan co-firing hidrogen dan amoniak pada PLTU, tidak dapat dianggap sebagai transisi energi, tetapi lebih merupakan upaya untuk mengakomodasi kepentingan korporasi untuk terus menggunakan bahan bakar fosil.
Agenda sebenarnya di balik ini adalah untuk meningkatkan kontrol korporasi atas pasar energi dengan menggunakan isu perubahan iklim sebagai peluang untuk mencapai tujuan tersebut. Investasi yang masih mendorong penggunaan bahan bakar fosil (seperti proyek amoniak PLTU Suralaya di Banten atau Proyek LNG Blok Masela di Laut Arafura) merupakan fase lain dari kolonialisme abad ke-21 dengan kedok transisi energi.
Sudah seharusnya Indonesia menghentikan penggunaan energi fosil dan mulai meningkatkan pembangkit listrik berbasis energi bersih, terbarukan, dan berkeadilan, bukannya terjebak pada solusi-solusi palsu.
Demikian Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada, Kamis (4/5).(walhi/bh/sya) |