Oleh: H. Tony Rosyid
ENAM ORANG ditembak aparat, mati! Dua opini menyebar ke publik. Polisi bilang adu tembak. FPI bawa senpi dan sajam. Dalam konferensi pers, alat bukti itu ditunjukkan.
Sebaliknya, FPI lebih awal umumkan bahwa enam anggotanya hilang. Ada penculikan terhadap mereka. Siapa? OTK. Orang tak dikenal. Karena berbaju preman dan mobil plat warna hitam. Setelah Kapolda Metro konferensi pers, FPI baru tahu kalau enam anggotanya yang semula hilang telah mati ditembak aparat.
pihak FPI membantah tuduhan Polda Metro kalau ada baku tembak. Syarat untuk menjadi nggota FPI tidak boleh membawa senpi dan sajam. Kalau ada baku tembak, tolong cek itu senjata siapa. Semua senjata ada nomor serinya. Dimana selonsong pelurunya, adakah aparat yang tertembak, atau kaca mobil yang pecah.
Tak ada jenazah di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Tak ada Police Line. Tak ada video atau foto yang menunjukkan baku tembak terjadi. CCTV jalan tol pun off. Rusak di hari itu, kata pihak PT. Jasa Marga. Kok Mendadak rusak? Di hari yang sama? Kebetulankah? Tanya FPI. Janggal! Kata sejumlah pihak.
Media dan medsos jadi ajang adu narasi dan adu bukti . Kuat-kuatkan argumentasi. Masing-masing cari simpati dan dukungan publik.
Publik sendiri sudah lama terbelah jadi dua. Sebagian mendukung penguasa. Sisanya mendukung oposisi. Pihak ketiga tak bersuara. Jumlahnya nyaris tak terdeteksi.
Pendukung oposisi mengamini pernyataan FPI. Pendukung penguasa membela polisi. Keduanya sama-sama punya argumentasi. Bersilat lidah di medsos tanpa cukup informasi. Gara-gara kasus ini, tak sedikit group WA bubar. Setidaknya banyak yang keluar.
Pernyataan salah satu Ormas yang ada di Jakarta makin menambah ramai dunia permedsosan. Sejumlah karangan bunga memberi ucapan selamat dan dukungan makin membuat perasaan keluarga enam jenazah tertekan.
Berbagai analisis berkembang. Ada yang bilang: Itu persaingan dua angkatan untuk membidik posisi Kapolri. Yang lain bilang: Kompetisi untuk KSAD dan Panglima TNI sudah dimulai. Ya, boleh-boleh aja. Namanya juga prediksi. Kalau benar, kenapa harus ada enam orang anak muda yang meninggal?
Tenang, dan mari berpikir jernih. Enam orang sudah mati. Anda ribut, mereka gak bakal hidup lagi. Tapi, kasus ini gak boleh berhenti sampai disini. Kalau adu kuat FPI vs polisi, FPI pasti kalah. Kalah segalanya. Polisi adalah penegak hukum, punya otoritas dengan semua kelengkapan personil dan fasilitas. Didukung dana memadai. Pasal Undang Undang juga memberi legitimasi.
Lalu? Bentuk Tim Pencari Fakta (TPF) independen. Sekali lagi, independen. Arti independen itu tidak diintervensi dan bebas dari intimidasi. Mulai dari proses pembentukannya sampai investigasinya. Komnas HAM, LBH, Kontras, Amnesti Internasional, dan lembaga-lembaga sejenis yang punya integritas dan kapasitas bisa diminta mengirimkan anggota terbaiknya.
Kepada TPF inilah rakyat punya satu-satunya harapan untuk melihat kebenaran dan keadilan di negeri ini. Tak ada alasan bagi polisi, FPI, dan juga pemerintah untuk menolak usulan rakyat atas TPF ini. Siapapun yang menghalangi, layak dicurigai.
Rakyat secara umum telah mendesak TPF segera dibentuk, sebelum barang bukti dan orang-orang yang terlibat punya banyak kesempatan menghilangkan dan memanipulasi jejak.
Lagi-lagi, apakah orang yang punya otoritas di negeri ini punya niat serius untuk menuntaskan kasus ini?
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.(tr/bh/sya)
|