JAKARTA, Berita HUKUM - Letjen. TNI (Purn.) Johannes Suryo Prabowo mengingatkan untuk mewaspadai bahwa ancaman Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak hanya berasal dari luar tapi juga dalam negeri. "Oleh karena itu rakyat Indonesia harus bersatu melalui ideologi Pancasila. Karena hanya Pancasila yang bisa menyatukan perbedaan di Indonesia. Once a soldier, always a soldier," tegasnya, saat menjadi pembicara dalam Dialog Kebangsaan dengan Topik; "Perang Semesta" yang digelar oleh Ormas baru di Indonesia 'Front Nasional', menindaklanjuti Deklarasi Ormas beberapa waktu yang lalu.
"Pancsila bukan agama. Karena Pancasila hakekatnya mengatur moral, perilaku, semangat dan demokrasi. Oleh karena itu jangan memonopoli kebenaran. Karena tidak ada kebenaran yang benar-benar," paparnya.
"Perang semesta" bukan bertempur habis-habisan bareng rakyat, tidak dilakukan ketika musuh datang dan sudah ke daratan NKRI. Tapi pemikirannya orang / kelompok itu ada. Perang Semesta merupakan bentuk baru, bentuknya "smart war". Beliau mencontohkan : kadang- kadang ditakut-takuti dengan senjata, kadang-kadang pakai ideologi dan ekonomi.
Menurut J Suryo Prabowo, negara asing meluapkan ketidaksukaannya terhadap Indonesia dengan membantu atau melakukan berbagai aksi kamtibmas. Oleh karena itu, berbagai peristiwa pemberontakan yang terjadi di Indonesia pasti dibantu negara asing.
"Tidak ada peristiwa besar di Indonesia yang tidak terkait dengan pihak asing, " ungkapnya pada, Kamis (6/8).
Mantan Kepala Staf Umum TNI, J Suryo Prabowo juga menjelaskan, Perang berbeda dengan Bertempur. "Perang bukan bertempur,". Perang Semesta bukan bertempur habis-habisan bareng rakyat, tidak dilakukan ketika musuh datang dan sudah ke daratan NKRI. Tapi pemikirannya orang / kelompok itu ada. Perang semesta merupakan bentuk baru, bentuknya smart call. Beliau mencontohkan: kadang- kadang ditakut-takuti dengan senjata, kadang-kadang pakai ideologi dan ekonomi.
J Suryo Prabowo mengandaikan dengan, "Katakanlah ambalat. kita perang. Karena menyangkut keutuhan wilayah. Tapi, diplomasi Luar Negeri jalan, people power jalan. Kawasan kita tetap dan masih punya ambalat (teritorial itu). Namun, untuk Sipadan dan Ligitan, kita kalah perang. Karena wilayah itu diambil oleh Malaysia. Gak pake bertempur kita kalah," ungkapnya. yang juga sebagai mantan Wakil Gubernur Timor Timur ini.
Peran Amerika, ujar Prabowo, tidak hanya membantu Indonesia untuk melawan musuh-musuhnya seperti dalam Operasi Trikora di Papua 1962, Operasi Dwikora 1964 dan Operasi Seroja 1975. Tapi negara Paman Sam itu juga membantu pihak pemberontak yang ingin membuat Indonesia tidak aman. Seperti pemberontakan PRRI/Permesta 1958.
"Pancasila bukan agama. Karena Pancasila hakekatnya mengatur moral, perilaku, semangat dan demokrasi. Oleh karena itu jangan memonopoli kebenaran. Karena tidak ada kebenaran yang benar-benar," paparnya, dengan penuh semangat pada Dialog di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (6/8).
"Ngapain nyerang Indonesia, terlalu banyak biaya untuk menyerang Indonesia. Namun, menyerang lewat proxy war. Tidak ada lagi perang gerilya, konvensional lagi," jelas J. Suryo Prabowo, seorang tokoh militer dan politisi Indonesia.
Yang paling penting adalah Proxy War atau Perang Semesta. Yang terutama soft power, dia tidak perlu menduduki. Namun menggunakan pelakunya tokoh masyarakat (melalui tangan orang lain).
"Jangan pikir Singapura, Malaysia tidak diserang oleh Proxy war. Jadi seluruh dunia ini. Semua pemberontakan, Pembangkangan. seluruhnya secara langsung atau tidak langsung, ada kekuatan asing berperan," ungkapnya, Ditambah lagi Operasi Militer selain perang. "Support in Surgensi."
Sepanjang kita sensistif dengan isu kesukuan, agama. kita tidak akan maju (tidam akan menang perang). Perang semesta itu tidak dapat sesuatu yang spesifik, jadilah sesuatu yang benar. jadilah peran yang benar. Tidak bisa disederhanakan. Konkritnya pada masing-masing yang berperan, perangnya Media seperti apa, perangnya Pengacara seperti apa.
Sementara itu, Hendarjit seorang tokoh pengkaji Geopolitik, yang juga sebagai Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) (GFI) ketika mengulas dan diskusi interaktif di tempat terpisah mengenai " Antisipasi Yunani efek di Indonesia " di wedang 200 kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, Jumat (7/8).
Dimana menurut beliau ramalan yang pernah dilontarkan kalangan analis dan pemerhati industri keuangan global akan terjadi krisis keuangan global pada September 2015 cukup mengkhawatirkan, khususnya untuk efek yang ditimbulkan jika berdampak di Indonesia.
Efek dari krisis Yunani, dampaknya krisis di sektor industri keuangan bakal menerpa AS, Uni Eropa dan China. Di Eropa pemicunya adalah krisis keuangan di Yunani. Jika krisis hutang tak terselesaikan, maka krisis ini akan merembet ke negara-negara Eropa lainnya, yang perkembangannya akan menghancurkan mata uang Euro.
"Penyebabnya secara sederhana dana bailout pemerintah Yunani seharusnya menstabilisasi perekonomian, termasuk industri keuangan Yunani, namun digunakan untuk membayar utang-utang LN Yunani, " ujar Hendarjit.
Peperangan Asimetris yang terjadi pada krisis Yunani, yakni metode peperangan gaya baru secara nirmiliter (non militer), namun memiliki daya hancur tak kalah hebat, bahkan dampaknya lebih dasyat dari perang militer. Dan memiliki medan atau lapangan tempur meliputi segala aspek, hingga impact nya berujung dengan "konflik ukraina".
"Bentuk asimetric war masuk kedalam rangka budaya (perang semesta), yakni armada budaya, sosial, politik dan ideologi harus masuk di dalam media tempur juga," imbuhnya yang memiliki perbedaan sudut pandang dengan Letjen TNI (Purn.) J.Suryo Prabowo yang meninjau Perang Semesta simetric, sedangkan Hendarjit lebih mengulas secara asimetric.
"Geopolitik penting untuk penyatu kementrian, penyatu legislatif, namun juga penyatu negara yang bersekutu untuk menyerang negara yang aspek geopolitiknya tinggi. Menko ekonomi, Sosbud dan Kesra kurang mempertimbangkan geopolitik. Namun, perlu memunculkan gerakan yang harus membuat mereka sadar / tergugah," ungkap Hendarjit.
"Geopolitik mutlak harus dijadikan ilmunya ketahanan nasional," jelas Hendarjit.
Tahapan awal dengan merajut dan mensenyawakan ideologi - politik- sosial - budaya, maupun aspek geografi, demografi (kependudukan) dan sumberdaya alam nasional. "Maka, Geopolitik bisa menjadi sarana seluruh komponen bangsa untuk kembali mengenali kekuatan-kekuatan material maupun immaterial, dari bangsa dan negara untuk mengenal diri, tahu diri, dan tahu harga diri," pungkas Hendarjit, menjelaskan dan berharap krisis yang dialami di Yunani takkan berimbas dan dialami di tanah air NKRI ini.(bh/mnd)
|