ACEH, Berita HUKUM - M Hasan (75), seorang mantan pejuang kemerdekaan Republik Indonsia sampai saat ini nasibnya tidak seberuntung seperti apa yang dibayangkan. Pasalnya, puluhan tahun Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda, namun sampai saat ini warga asal Desa Ara, Syamtalira Arun, Aceh Utara itu belum memiliki tempat tinggal.
Saat ditemui pewarta BeritaHUKUM.com, lelaki itu menuturkan kepedihan kehidupannya sehari-hari yang acapkali kekurangan pangan untuk menghidupi istri dan empat orang anaknya yaitu 2 orang putri dan 2 orang putra. Bahkan terkadang sampai berhari-hari lamanya keluarga miskin yang hidupnya berpindah-pindah karena tidak memiliki tempat tinggal untuk berteduh, ini juga tidak memiliki tanah, yang terkadang untuk urusan sesuap nasi ia harus meminta belas kasihan dari orang lain.
M Hasan yang berpasangan dengan Nurmala (istri,red), dulunya pernah berjuang di medan tempur kurang lebih selama 7 bulan melawan pasukan kolonial sekutu Belanda, tepatnya di Sulawesi sekira tahun 1953 silam. Namun setelah Aceh dilanda konflik DII/TII pada masa itu, ia beserta beberapa rekan-rekan di kesatuannya langsung meminta izin untuk pulang ke kampung halamannya di Desa Ara.
Hanya wajah memelas yang terpancar dari keluarga itu. Sebab, meskipun ia telah berjuang membela negara namun kehidupanya sekarang ini justru jauh seperti semangatnya yang tertancap ketika berperang. Lelaki berumur yang juga satu kampung dengan Bupati Aceh Utara Muhammad Thaib (bupati sekarang,red) malah tidak pernah mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah.
"Jangankan rumah, tanah, untuk makan sehari-hari saja saya tidak mampu, pemerintah pun tak pernah memberi bantuan apapun kepada kami," keluh Hasan, saat disambangi pewarta BeritaHUKUM.com, Rabu (29/5).
Hasan juga menuturkan, selama ini ia berpindah-pindah tempat dengan menempati rumah gubuk milik orang. Bahkan yang ditempatinya saat ini di Desa Cibrek Tunong kecamatan setempat juga katanya diminta untuk segera dikosongkan karena akan ditempati oleh yang empunya. Tragis memang, melihat kenyataan saat ini justru pemerintah malah tengah disibukkan dengan program-program yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat.
Hasan yang keseharianya hanya mengandalkan kerja mocok-mocok (buruh srabutan,red) yang terkadang mendapat honor Rp 10.000/per hari dan terkadang juga sampai berhari-hari tidak memiliki uang hanya bisa pasrah keajaiban akan berpijak pada nasib keluarganya. Sementara istrinya yang hanya buruh nyuci pun honornya hanya mampu untuk makan sehari-hari, bahkan juga kurang.
Akibatnya, 4 orang anak-anaknya yang masih kecil-kecil harus mogok sekolah karena tidak ada biaya. "Ya mau bagaimana pak, kerja saya mocok-mocok, istri saya buruh nyuci, dan terpaksa anak-anak saya harus berhenti sekolah," tuturnya memelas.
Saat ini, Hasan dan keluarganya hanya bisa berharap mendapat belas kasihan dari pemerintah agar memberikan bantuan yang layak terutama untuk memberikan bantuan rumah kepadanya dan dapat diberikan bea siswa agar putra dan putrinya dapat melanjutkan sekolahnya.(bhc/sul)
|