JAKARTA, Berita HUKUM - Ketua Umum Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARUP) Rizal Ramli menyebut empat kriteria pemimpin yang dibutuhkan Indonesia ke depan. Keempatnya adalah memiliki visi, integritas, kapasitas teknis memecahkan masalah, dan popularitas. Sayangnya dalam beberapa tahun terakhir, pemimpin dipilih karena popularitas tanpa tiga kriteria lainnya, sehingga tidak mampu menyejaheterakan rakyat dan membuat Indonesia disegani di Asia.
“Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang mampu menyelesaikan masalah kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan rakyat Indonesia dibandingkan bangsa-bangsa maju. Pemimpin yang mampu mengurangi utang yang sudah lebih dari Rp2.100 triliun. Pemimpin yang dalam tempo cepat mampu mengurangi empat devisit sekaligus yang telah membawa pereknomian Indonesia pada ‘lampu kuning’,” ujar Rizal Ramli pada Forum Indonesia, satu acara talk show yang digelar Metro TV, Kamis malam (12/9), yang diiringi gemuruh tepuk tangan audiens yang memenuhi grand studio.
Menurut Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu, Indonesia butuh pemimpin yang punya visi yang jelas, mau dibawa ke mana Indonesia ke depan. Pemimpin yang punya integritas, mampu mengemban kepercayaan rakyat dengan amanah. Pemimpin yang bekerja dengan hati untuk menyejahterakan rakyatnya, bukan hanya sibuk menyenangkan majikan asing. Pemimpin yang mampu memecahkan masalah, bukan justru menjadi bagian dari masalah.
“Indonesia tidak butuh pemimpin yang sekadar mengandalkan popularitas. Saya juga minta bangsa Indonesia belajar dari pengalaman sembilan tahun terakhir ini. Bagaimana pemimpin yang hanya bermodal popularitas ternyata tidak mampu memecahkan masalah, tapi malah justru menjadi sumber masalah itu sendiri,” tukasnya.
Selama ini rakyat Indonesia memang mudah terpesona dengan popularitas tokoh, sehingga menganggap yang bersangkutan pantas menjadi pemimpin. Padahal, dari keempat kriteria tersebut, hanya popularitas yang bisa direkayasa. Dengan iklan dan publisitas yang terus-menerus, persepsi publik dapat digiring ke arah yang dikehendaki. Seorang yang selama ini jadi bagian dari masalah kemudian seolah-olah menjadi pembawa solusi, pecundang menjadi pemenang, bahkan penjahat bisa tiba-tiba berubah menjadi pahlawan, dan seterusnya.
“Kalau kita terus-menerus terpesona dan terjebak pada popularitas, maka Indonesia tidak akan bisa menjadi next China, next Japan, next Korea. Indonesia hanya akan menjadi next Filipina. Ingat, Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan para pendiri bangsa lain menjadi pemimpin karena mereka telah membuktikan visinya, integritas, dan kapasitasnya dalam memecahkan masalah. Kalau popularitas yang menjadi ukuran, Soekarno tidak akan pernah menjadi presiden karena dia tidak mampu membayar iklan televisi, pasang baliho besar-besar di setiap sudut jalan, atau merekayasa publisitas,” papar Capres yang di kalangan Nahdiyin akrab disapa Gus Romli.
Selain Rizal Ramli, talk show bertema “Siapa Mampu Mengalahkan Jokowi?” itu juga menghadirkan 20 narasumber dengan berbagai latar belakang, sebagian besar adalah para politisi Senayan yang mewakili partai masing-masing. Namun ada juga pengamat seperti Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens dan pakar komunikasi politik yang kini menjadi anggota konvensi Partai Demokrat Effendi Ghozali.(rls/rpb/bhc/sya)
|