JAKARTA-Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU), kini giliran Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (26/7), yang diobok-obok tim Inafis (Indonesia Automatic Fingerprints Identification System) Polri. Hal ini bagian dari upaya untuk membongkar dugaan keterlibatan sejumlah pihak dalam kasus pemalsuan surat MK. Tim yang beranggotakan empat orang itu langsung menuju ke lantai 11 dengan diantar dua petugas Pengamanan Dalam (Pamdal) setempat.
Terlihat tim membawa satu buah kotak peralatan dan satu buah bundel dokumen. Sayangnya, mereka enggan memberikan keterangan kepada wartawan mengenai isi dokumen yang akan dipakai sebagai melengkapi dilakukannya rekonstruksi itu. Tersangka kasus dugaan pemalsuan surat MK yang juga mantan staf MK, Mashuri Hasan kembali disertakan dalam proses tersebut. Ia dijemput dari Rutan Bareskrim Mabes Polri untuk di bawa ke lantai 11 yang merupakan ruang kerja seorang Panitera.
Rekonstruksi ini dilakukan secara tertutup. Hal ini seperti yang terjadi di KPU. Wartawan sama sekali tidak diperkenankan meliput. Pihak Sekretariat Jenderal (Setjen) MK meminta pengertian awak media untuk menunggu di lobi hingga rekonstruksi selesai dilaksanakan. Alasannya, langkah ini merupakan bagian dari proses penyidikan yang bersifat rahasia.
Sebelumnya, dalam rekonstruksi yang berlangsung di gedung KPU, Senin (25/7) kemarin, dilaksanakan di ruang kerja yang pernah ditempati Andi Nurpati. Ruangan itu, kini ditempati anggota KPU Syamsul Bahri. Rekonstruksi tersebut menghadirkan Mashuri serta sejumlah saksi lain yang merupakan staf KPU serta sopir Nurpati. Hal ini dilakukan terkait dengan rapat pleno KPU yang saat itu memutuskan untuk menggunakan surat nomor 112 tertanggal 14 Agustus 2009 yang ternyata palsu.
Polisi, telah menetapkan mantan Staf MK, Mashuri Hasan, menjadi tersangka dalam kasus tersebut. Ia diduga merupakan bagian dari kelompok pemalsu surat tersebut. Sebelumnya, MK memutuskan surat tertanggal 14 Agustus 2009 merupakan surat palsu.
Berdasarkan surat tersebut, akhirnya rapat pleno KPU memutuskan kursi Daerah Pemilihan (Dapil) 1 Sulawesi Selatan ditetapkan untuk politisi Partai Hanura, Dewie Yasin Limpo. Padahal, dalam surat asli tertanggal 17 Agustus 2009, MK memutuskan kursi tersebut kepada politisi Partai Gerindra, Mestariani Habie.
Menyusul hal ini, MK langsung membentuk tim internal untuk menyelidikinya. Setelah itu, diketahui bahwa surat itu palsu. Selanjutnya, Ketua MK Mahfud MD melaporkannya kepada Bareskrim Mabes Polri. Namun, Polri tidak langsung bergerak. Setelah didesak publik, barulah kasus itu ditindak lanjuti, tapi sejauh ini hanya satu orang tersangka yang ditetapkan. Padahal, diduga ada aktor lain yang membantu serta dalang di balik semua ini.(rob/ans)
|