JAKARTA, Berita HUKUM - Wakil Ketua MPR-RI yang juga Anggota DPR-RI Komisi VIII, Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid mengkritisi pernyataan Menko PMK Muhadjir Effendy saat berkunjung ke Probolinggo (28/10/2021). Saat itu Muhadjir mengatakan bahwa bansos tidak bisa menyelesaikan masalah kemiskinan ekstrem.
Terhadap pernyataan Menko PMK, itu HNW mengingatkan bantuan untuk menangani fakir miskin sebagai amanah UU Nomor 13 tahun 2011 haruslah bersifat terarah, terpadu, dan berkelanjutan. Agar kewajiban Negara melindungi seluruh Rakyat Indonesia termasuk kemiskinan ekstrem, dengan memajukan kesejahteraan Umum, sebagaimana ketentuan dalam alinea ke 4 Pembukaan UUD, dapat terwujud.
Namun, yang terjadi saat ini bantuan sosial masih belum terprogram secara baik untuk atasi masalah kemiskinan ekstrem maupun non ekstrem. Bahkan belum terintegrasi dengan maksimal, ditambah masalah akurasi pendataan yang berdampak pada akurasi program. Dan juga kalahnya keberpihakan anggaran untuk bantuan sosial dibanding anggaran proyek kontroversial. Seperti dana talangan Jiwasraya, dana talangan Kereta Cepat, dan pembangunan Ibu Kota Negara baru.
Jika aspek komprehensif dan terkoordinasi dalam penyaluran bantuan sebagaimana aturan di Pasal 27 UU 13/2011 dijalankan, Hidayat yakin bantuan sosial bisa berperan signifikan untuk atasi kemiskinan ekstrem di Indonesia.
"Pembukaan Undang-Undang Dasar dan Pancasila sudah mengamanahkan agar Negara melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, laksanakan keadilan sosial dan pelihara fakir miskin. Dalam pelaksanaannya, kewajiban ini harus disikapi dengan serius, bersifat komprehensif, terintegrasi antar program, dan terkoordinasi antar Kementerian-Lembaga, sebagai kunci menjalankan amanah UUD tersebut agar efektif berkontribusi mengentaskan kemiskinan termasuk yang ekstrem. Sayangnya hal mendasar itu belum berhasil dilaksanakan secara maksimal oleh Pemerintah," ujar Hidayat dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (31/10).
HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid menjelaskan, berdasarkan paparan Kementerian Keuangan ke Komisi VIII DPR-RI, efektivitas program bansos terus menurun sejak tahun 2015. Misalnya, per Rp 100 Triliun anggaran, Program Indonesia Pintar dan Program Keluarga Harapan pada 2015 bisa mengurangi kemiskinan sebesar 8% dan 15%. Namun pada 2018 kemampuannya masing-masing tinggal 3% dan 5%.
Penurunan efektivitas tersebut besar kemungkinannya karena akurasi data dan efektivitas program yang bermasalah, sehingga programnya tidak solutif, dan banyak warga yang mestinya layak terima bansos justru tidak menerima. Dan warga tidak layak menerima tapi justru menerima bansos. Permasalahan data dan disintegrasi bansos juga menyebabkan 20% warga miskin yang berada di desil terbawah pendapatan, justru tidak menerima satu pun jenis bansos, di saat seharusnya mereka bisa menerima 4 jenis program bansos dari aspek perlindungan sampai aspek pemberdayaan. Kesenjangan tersebut diperparah dengan masih ditemukannya penyunatan besaran bansos hingga korupsi bansos kelas kakap yang sampai melibatkan Menteri Sosial.
"Belum lagi minimnya koordinasi antar K/L dalam perancangan bansos. Untuk Kementerian yang berada di satu Komisi saja seperti Kemensos dan KemenPPPA, ternyata KemenPPPA tidak dilibatkan dalam merancang program bantuan anak yatim. Padahal seharusnya rencana bantuan tunai dari Kemensos untuk anak yatim bisa dilengkapi dengan program UPTD-PPA yang ada di daerah, sehingga bantuan dan pendampingan bisa berkelanjutan," ujarnya.
Wakil Ketua Majelis Syura PKS, ini menilai, alih-alih menyelesaikan masalah secara mendasar dan menyeluruh, Kemensos belum lama ini justru mengurangi usulan data anak yatim penerima bansos. Juga mencoret 9 jutaan data warga yang berhak terima bantuan kesehatan. Sementara anggaran Negara malah dihamburkan untuk hal yang bukan merupakan kewajiban konstitusional membantu fakir miskin, maupun sesuai janji kampanye seperti digelontorkannya APBN untuk talangi Asuransi Jiwasraya sebesar Rp 22 Triliun, Bangun IKN minimal Rp 89,4 Triliun dan suntik proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung setidaknya Rp 4,3 Triliun.
Padahal seluruh anggaran tersebut apabila dialihkan untuk peningkatan cakupan program Bansos tentu sangat cukup menghadirkan program yang kreatif, produktif, dan efektif untuk mengatasi kemiskinan ekstrem. Dan program pengentasan kemiskinan tersebut sejatinya juga tidak layak disebut sebagai bantuan, apalagi diklaim bahwa bantuan dari Pemerintah, karena faktanya hal itu merupakan amanat Konstitusi yang dibiayai oleh APBN yang bersumber dari pajak rakyat. Dampaknya karena sebagai Pemerintah merasa memberikan bantuan ke rakyat, maka seolah-olah berhak. Misalnya, marah-marah di hadapan publik seperti yang dilakukan oleh Menteri Sosial.
"Program bansos menjadi seperti balsam yang tidak bisa menyembuhkan, sebagaimana istilah Pak Muhadjir, justru karena tidak akuratnya program, simpang-siur pendataan, kalahnya keberpihakan anggaran, dan kinerja Menteri yang bukannya menyelesaikan masalah secara fundamental tapi malah terus menghadirkan kontroversial. Kami tetap yakin bansos sebagai program yang komprehensif bisa selesaikan masalah kemiskinan dari yang sekedar rentan sampai yang di titik ekstrem. Kuncinya adalah harus terintegrasi, terkoordinasi, tervalidasi, dan bebas dari korupsi," pungkasnya.(MPR/bh/sya) |