YOGYAKARTA, Berita HUKUM - Globalisasi telah membuat bumi ini seakan seperti sebuah desa yang tidak disekat oleh batas-batas teritorial negara. Akibatnya, batas-batas fisik terirorial negara melebur karena dunia telah terinstegrasi baik secara politik, ekonomi, budaya, dan informasi yang dipertemukan dalam realitas virtual.
Haedar Nashir dalam sambutan sekaligus membuka acara Muktamar IPM XXII mengingatkan kader-kader persyarikatan agar mempersiapkan diri menghadapi tantangan globalisasi ini. Ia mengajak segenap kaum muda mudi Muhammadiyah agar mengubah mindset, adaptif dengan perubahan, punya mobilitas cerdas, dan kemampuan memanfaatkan teknologi.
"Bangsa ini masih menghadapi tantangan antara lain daya saing kita sebagai bangsa berada di posisi keenam di ASEAN. Di bidang pendidikan kita berada di posisi ketujuh. Ini penting diperhatikan kader IPM karena jika ingin melintas batas, dan merancang masa depan, maka yang diperlukan adalah perubahan paradigma dan alam pikiran dari miopik menjadi inklusif," ujar Haedar pada Jumat (26/03).
Miopik, kata Haedar, adalah mereka yang pikiran dan pandangannya terkurung dalam sangkar-besi yang gelap, tidak terbuka pada dunia luar yang terang. Problem psikososial dalam dunia miopik akan, melahirkan "siege mentality". Maksudnya, orang terkurung di dunia sempit yang diciptakannya sendiri lalu terus merasa terancam pihak lain.
"Akibatnya, tidak bangkit membangun kekuatan diri yang mandiri. Di sinilah IPM harus melintas batas menjadi inklusif. Inilah makna dari "eyond the limit" dan itu ada dalam spirit nun wa al-qalami wa ma yasturun," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah ini.
Spirit nun wa al-qalami wa ma yasturun berarti semangat al-rasikhuna fi al-ilm atau orang yang mampu membaca teks baik yang muhkamat maupun mutasyabihat. Yakni, orang yang mampu membaca apa yang menjadi substansi dari realitas permukaan, tindakannya selalu selaras antara kata dengan perbuatan, dan berwawasan luas dalam memandang dunia.
"Kami sebagai orang tau maupun alumni yang sudah senior tidak ingin generasi saat ini maupun generasi sesudahnya menjadi generasi kader yang miopik yang tidak mampu menangkap isyarat dahsyat nun wa al-qalami wa ma yasturun dalam semangat bayani, burhani, irfani," tutur Haedar.
Jika ingin merebut masa depan, kata Haedar, maka pelajari bayani, burhani, dan irfani. Dengan triologi pendekatan ini maka akan membaca situasi dengan multi-prespektif supaya tidak seperti katak dalam tempurung. "Kalianlah pewaris Muhammadiyah yang sah. Silakan berdiaspora baik di tingkat nasional dan internasional," ungkap Haedar.(muhammadiyah/bh/sya) |