KEGADUHAN - Kasus korupsi terlanjur menjadi trand politikus Indonesia sejak satu decade terakhir. Kasus korupsi yang menerpa Partai Demokrat, toh semakin membadai. Sejumlah elite partai besutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu dijadikan tersangka dalam berbagai kasus korupsi. Mulai dari mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin, mantan Wasekjen Angelina Sondakh dan terakhir mantan Sekretaris Dewan Pembina sekaligus mantan Menpora Andi Alfian Mallarangeng. Hingga terakhir mantan Ketua Umum Partai PD yang dibina SBY itu, semakin dekat menuju KPK. Keempat petinggi Partai Demokrat itu terjerembab dalam kasus dugaan korupsi yang diduga merugikan negara miliaran rupiah.
Runyamnya, pihak Partai Demokrat yang masih tersisa dan bertahan justru menganggap KPK tidak adil dalam menjalankan tugasnya. Komisi pemberangus para koruptor itu dituding hanya 'mengejar' kader Demokrat saja dalam kasus korupsi. Padahal, banyak kasus korupsi yang diduga melibatkan kader partai lain tidak diketahui kabar beritanya hingga kini. Meski realitasnya, sejumlah kasus korupsi yang menjerat petinggi partai penguasa itu, justru terkesan ‘alot’ dan lamban, seperti menatap di lahan terjal. Setidaknya, walau pun sudah jelas sejumlah figure petinggi Partai Demokrat itu yang menjadi tersangka, toh KPK tampak lamban menyeret mereka yang disangka maling itu menuju tahanan KPK. Sementara tersangka dari partai lain, seperti tidak ada aral melintang yang menghalang.
Betapa tidak alotnya KPK menghadapi petinggi Partai Demokrat yang bakal terkerat itu – seperti Andi Mallarangeng misalnya hingga sampai analisis ini ditulis belum juga ditahan -- justru mengatakan, sebagai lembaga penegak hukum yang independen, KPK tidak tergiring dalam situasi sehingga melupakan kasus-kasus besar terdahulu. Dia meminta, KPK fair dan tidak pandang bulu dalam memberantas korupsi. Pernyataan ini bias juga dipahami semacam pedang bermata dua. Yang satu bias menikam ke luar, sementara yang satu lagi dapat menikam ke dalam. Hingga mengesankan ada isyarat kepada petinggi Partai Demokrat yang masih berdlih bersih, bahwa sesungguhnya masih ada kasus besar lainnya seperti Bank Century yang dapat menjadi perangkap petinggi Partai Demokrat lainnya.
Kecuali itu, Andi Alfian Mallarangeng pun mengklaim bahwa kasus korupsi yang belakangan menimpa kader-kader Demokrat belum seberapa jika dibandingkan dengan partai politik lain yang kadernya terlibat kasus korupsi. Dia juga mengklaim saat ini Partai yang paling konsisten dalam memberantas korupsi adalah Partai Demokrat, sebagaimana direkam dan dilaporkan sejumlah media massa.
Buktinya dia merinci sejumlah petinggi-petinggi Partai lainnya yang sudah divonis Pengadilan. Semua itu menurutnya merupakan bukti bahwa Partai Demokrat tidak lakukan intervensi. Meski masih ada kader partai Demokrat yang terlibat. Pengakuan yang lebih jujur misalnya bisalah disimak dari pernyataan Hayono Isman.
Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat ini, Hayono Isman tidak merasa heran jika ada kader Demokrat terlibat kasus korupsi. Hayono mengklaim bahwa pelaku korupsi yang dilakukan oleh Demokrat tidak sebanyak kader dari partai lain. "Di partai manapun semua ada (korupsi), kalau kita lihat Demokrat ada di nomor 3. Karena pemenang pemilu menjadi sorotan, padahal kita konsisten sekali (memberantas korupsi)," kata Hayono di Gedung DPR RI .
Dia juga beranggapan banyaknya kader Demokrat yang terlibat kasus korupsi itu bukan karena kesalahan sistem partai. Namun semata-mata dikarenakan oknum tersebut tidak kuat Iman sebagai pelaku kebijakan. Anggota Komisi I DPR ini juga menolak apabila Partai Demokrat disalahkan karena telah merekrut kader-kader kotor seperti yang sekarang terlibat kasus korupsi. Namun menurutnya Partai Demokrat tetap konsisten memberantas korupsi dengan tidak melindungi satupun kadernya yang terlibat.
Agaknya, Proyek Hambalang bisa saja semula diharap dapat menjadi rintangan jalan mulus menuju Pemilu 2014 di Indonesia. Begitu juga sebaliknya bagi kalangan politikus busuk, masalah Hambalang dapat menjadi penghalang menuju pesta demokrasi Indonesia pada 2014. Sunnatullah-nya, dari sononya konon sudah begitu. Ada yang rugi, dan ada yang diuntungkan. Meski ke-mana-mana, tetap saja rakyat yang menanggungnya. Sebab “proyek super mahal” itu entah sampai kapan baru bisa dinikmati, agar tubuh yang sehat dapat dijadikan pertahanan jiwa yang kuat. Toh, rakyat tidak mungkin akan menilep uangnya sendiri yang senantiasa disebut-sebut para penguasa adalah uang milik Negara ini.(*)
|