JAKARTA, Berita HUKUM - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), beberapa waktu lalu dalam jumpa persnya menyimpulkan bahwa terdapat banyak bukti permulaan untuk menduga telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966. Sembilan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan dan penghilangan orang secara paksa. Atas kesimpulan tersebut, Komnas HAM merekomendasikan agar Jaksa Agung dapat menindaklanjutinya dengan penyidikan. Komnas HAM merekomendasikan pula hasil penyelidikan dapat diselesaikan melalui mekanisme non yudisial demi terpenuhinya rasa keadilan bagi korban dan keluarganya.
Kesimpulan Komnas HAM atas peristiwa 1965-1966 tidak saja merupakan perkembangan bagi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, tapi juga terbersit pengakuan bahwa ada lembaran hitam sejarah di Indonesia. Pada level lain juga telah menumbuhkan harapan baru bagi para korban. Meskipun tetap muncul banyak catatan dan keragu-raguan pada semua pihak akan keseriusan untuk berproses. Dalam perspektif Syarikat Indonesia, pelanggaran HAM itu bersifat haqqul adamy, yakni ada persoalan dalam hubungan antar umat manusia yang harus diselesaikan. Dengan penyelesaian tersebut tentu kita bisa melangkah ke depan
lebih baik, kalau tidak akan terus dihantui oleh persoalan yang belum selesai.
Penghargaan yang tinggi perlu disampaikan kepada komnas HAM atas rekomendasi tersebut. Ini adalah bukti kerja keras Komnas HAM untuk pengungkapannya, setelah dihadang banyak rintangan. Peristiwa 1965-1966 merupakan penyimpangan dari cita-cita para muassis (pendiri) Republik Proklamasi Indonesia 1945, yang ingin membangun nation dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, tanpa ada penyingkiran etnis atau kelompok tertentu sebagaimana terjadi di beberapa negara lain. Untuk itu laporan Komnas HAM ini merupakan kunci pembuka untuk menyadari adanya kesalahan tersebut.
Upaya dari Presiden atas upaya penyelesaian peristiwa 1965-1966 merupakan bagian dari penegakan HAM dan menjadi tanggungjawab penyelenggara Negara. Penyelesaian peristiwa 1965-1966 merupakan titik masuk untuk rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi yang bertujuan untuk tidak mewariskan dendam dan menjadi penyembuh luka bangsa. Kita mengenal tasharruful imam fir ra’iyyah manutun bil maslahah, bahwa kebijakan penyelenggara negara di dalam kepemimpinannya harus mengacu pada kebutuhan yang terbaik bagi rakyatnya. Kebijakan itu semaksimal mungkin tidak melukai satu pun rakyatnya. Kalaupun ternyata ada sebagian rakyat yang terluka harusnya ada yang meminta maaf dan memperhatikan kebutuhan mereka yang selama ini tersulitkan.
Karenanya, Syarikat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat sipil yang selama ini bekerja untuk terwujudnya rekonsiliasi akar rumput dengan pendekatan kultural memandang sangat penting menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM. Adapun rekomendasinya melalui jalur judicial dan non judicial. Dalam perspektif Syarikat Indonesia untuk penyelesaian melalui jalur hukum perlu mempertimbangkan:
1. Tidak adanya perangkat undang-undang yang memadai untuk itu dan yang tersedia hanya undang-undang HAM dan pengadilan HAM. Kedua undang-undang itu masih memerlukan ketentuan-ketentuan teknis yang lebih detil sebagaimana dalam Statuta Roma. Sementara Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma. Artinya, masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk mempersiapkan perangkat hukumnya, untuk memperoleh keadilan yang seadil-adilnya dalam perspektif hukum.
2. Menggunakan model keadilan transisional yang memadukan pengadilan dan pengampunan seperti dalam KKR, bahkan tidak ada perangkat hukumnya sama sekali setelah UU KKR dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk mempersiapkan UU KKR lagi, juga perlu waktu yang tidak mungkin dalam waktu dekat.
Berangkat dari dua hal di atas, perlu dipikirkan kembali untuk memasukkan hal ini ke ranah judicial murni sesuai undang-undang pengadilan HAM. Terdapat berbagai peristiwa yang dalam prakteknya menunjukkan tidak pernah ada tindak lanjut. Bukan karena Jaksa Agung akan secara apriori mengerjakan hal itu, tapi perangkat hukumnya tidak mencukupi. Kasus dugaan pelanggaran HAM yang sudah dilimpahkan ke kejaksaan Agung sudah banyak, seperti peristiwa Mei, Semanggi, penculikan, dan lain-lainnya, namun tidak ada tidak lanjut yang jelas.
Oleh karena itu, proses penyelesaian dengan menggunakan jalur non-judicial atau politik, ini sangat mungkin dilakukan secara cepat, tetapi memerlukan kemauan politik yang sangat besar dari Presiden mengingat beberapa hal:
1. Masalah peristiwa 1965-1966 masih akan menimbulkan kontroversi, baik dari instititusi Negara, khususnya TNI dan kelompok masyarakat yang belum memahami perlunya penyelesaian masa lalu.
2. Ganjalan TAP MPRS No XXV th. 1966 sebagai sebuah produk politik masa lalu yang masih belum dihapus, dan dianggap tonggak dari keabsahan dari pelanggaran HAM 1965-1966.
3. Kemauan yang kuat dari Presiden untuk mengambil langkah strategis dalam rangka menindak lanjuti rekomendasi Komnas HAM. Presiden dengan cepat melakukan pengakuan atas terjadinya pelanggaran HAM pada tahun 1965-1966. Setelah adanya pengakuan, selanjutnya dilakukan permintaan maaf atas terjadinya peristiwa tersebut. Adapun contohnya yang pernah dilakukan di Australia. Di Australia, Perdana Menteri membuat pernyataan di DPR, intinya berdasarkan hasil penyelidikan pengadilan di Negara-negara bagian terbukti ada pelanggaran HAM berat bagi kaum Aborigin. Pemerintah Federal tidak perlu membuat komisi rekonsiliasi atau pengadilan ad-hoc, tapi langsung buat pernyataan permintaan maaf atas perlakuan pemerintah waktu itu (seratus tahun yang lalu) atas kaum aborigin. Rekomendasi Komnas HAM cukup untuk jadi landasan permintaan maaf dan rekonsiliasi nasional.
Sebelum pilihan penyelesaian dijatuhkan, Syarikat Indonesia juga merasa perlu untuk menyerukan kepada semua komponen bangsa.
1. Untuk semua komponen bangsa berfikir demi marwah dan martabat bangsa, mengakui kesalahan yang terjadi di masa lalu di mana berbagai komponen bangsa telah terlibat aktif maupun pasif dengan “restu” negara. Pengakuan ini adalah bentuk pertanggungjawaban sejarah di masa lalu yang salah kaprah, dan sekaligus memberikan jalan kemanusiaan yang berkeadilan kepada generasi ke depan untuk membangun Indonesia yang tanpa beban dan luka sejarah. Pengakuan ini sekaligus adalah peringatan kepada generasi muda dan bangsa Indonesia untuk tidak mengulangi tragedi kemanusian semacam ini di masa depan.
2. Untuk semua bangsa mengedepankan kesadaran bersama kalau peristiwa 1965-1966 merupakan pengingkaran cita-cita para muassis (pendiri) bangsa.
3. Meminta Komnas HAM untuk membuka laporan temuan, kesimpulan dan rekomendasi atas peristiwa 1965-1966 ke publik sebagai upaya awal untuk memperluas dan mempersiapkan penyelesaian dampak sosial-ekonomi-politik sebagai akibat ikutan peristiwa 1965-1966.
4. Berharap Presiden berani mengambil langkah cepat dan strategis untuk memberikan dukungan agar menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu yang berorientasi pada upaya pengembalian hak-hak korban dan rekonsiliasi nasional dengan pendekatan yang berkeadilan baik dengan berbagai pilihan penyelesaian yang tersedia demi martabat bangsa dan kemanusiaan yang sejati.(bhc/rls/rtm)
|