JAKARTA, Berita HUKUM - Pelabuhan Bitung yang berlokasi di Kota Bitung, Sulawesi Utara yang diapit benua Australia dan benua Asia, serta Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, sehingga sangat strategis menjadi pintu gerbang untuk akses ke pasar Asia Pasifik (Asia Timur, Amerika dan Oceania) dan menjadikan Bitung pintu gerbang Asia Pasifik.
Asumsi ini pun dibenarkan oleh Hendarjit selaku Direktur Eksekutif GFI (Global Future Institute) yang mengatakan, "bahkan jika menganalisa lintasan perdagangan dunia, oleh Dr Samratulangi dahulu sudah menggambarkan, dimana Bitung merupakan salah satu pintu gerbang," ungkapnya.
China dengan bantuan Infrastruktur segala macam nantinya seperti yang berlaku di Bitung tersebut, menurut Hendarjit, "bukan hanya modal dalam bentuk investasi datang yang masuk. Tenaga kerja, pabrik-pabriknya juga masuk, dan tentu saja modal. Akan muncul kantung China seperti di era penjajahan Belanda dahulu," jelas Hendrajit, terkait kondisi seperti itu, ia juga memaparkan bahwa nantinya hal ini menjadi kedok proyek ekonomi bermodus dari China melalui asimetric war. Terkait, Proxy war antara kekuatan Amerika dan Eropa Barat.
Seperti sudah nampak sekarang, China menguasai geopolitik dari wilayah Selat Sunda. Padahal Selat Sunda adalah senjata, pola ini terjadi di sela-sela KAA (Konferensi Asia Afrika), dimana ada 15 bandara dan 24 pelabuhan di dalam kerangka Infrastruktur Maritim.
"Tebar hibah, tebar investasi. Melalui cara ekonomi, Namun sasaran utama adalah Geopolitik. MoU di sela2 Asia Afrika, betapa bahayanya ketika politik luar negeri tidak berbanding dengan kesadaran Geopolitik," ujar Hendarjit, selaku pengamat Geopolitik, saat berdiskusi santai di daerah kawasan Fatmawati wedang 200, Jakarta Selatan. Jumat (5/6).
Sementara, kekhawatiran beliaupun diungkapkan dengan Program Siberian Rusian Parties, yang bukan berupa Tol Laut / proyek ekonomi saja, tapi Geopolitik Siberia ada misi-misi politiknya. "Itu merupakan bargaining politik Rusia untuk masuk dan hadir di kawasan Asia Pasifik," cetus Hendarjit selaku pengamat Geopolitik..
Jika dicermati lebih mendalam, di dalam doktrinnya menggambarkan bahwa, kami akan hadir di Asia Pasifik, karena digencet di negara Eropa atau Amerika itu sendiri. Pra-kondisinya mulai nampak ketika Timor-Timut mulai lepas, Liberalisasi Ekonomi, UU Migas nomor 22 tahun 2001 di era Reformasi lepas.
"Itu memberi angin, pintu masuk Liberalisasi masuk di Indonesia (Otoritas tertinggi dalam Pemerintahan) seperti ada by design, diisi oleh orang-orang yang tidak mempunyai Capabiltinya dalam kabinet Jokowi-JK ini," katanya lagi.
Hendarjit menegaskan yang dibutuhkan sekarang adalah menjadikan Geopolitik sebagai jembatan penghubung, yang menyatukan kedaulatan sektor pertahanan, energi dan pangan, �maka itu ketiga sektor strategis ini seharusnya tidak lagi dipandang secara sektoral semata-mata sebagai masalah ekonomi, dan pertahanan-keamanan saja,� tutur Hendarjit.
"Dengan kata lain, kita sebagai komponen bangsa, Pemerintah dan DPR harus mengenali kekuatan dan kelemahan kita sendiri," tandasnya.(bh/mnd) |