JAKARTA, Berita HUKUM - Ketua Umum Kaukus Muda Indonesia (KMI), Edi Humaidi menungkapkan bahwa, "Kegiatan eksplorasi perikanan di Laut sering terjadi tindak pidana merugikan negara, seperti kegiatan illegal Unreporter, Unregulated Fishing (IUU-Fishing). Artinya penangkapan ikan dilakukan illegal, tidak dilapor dan tak sesuai aturan ditetapkan," ungkap Ketum KMI pada sesi seminar diselenggarakan oleh Kaukus Muda Indonesia (KMI) bertajuk,"Illegal Fishing dan Kedaulatan Laut Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia" dilangsungkan di kawasan senayan, Jakarta. Rabu (22/3).
Saat seminar berlangsung pantauan pewarta BeritaHUKUM.com, turut hadir narasumber; Laksamana Pertama TNI Yuli Dharmawanto, SH.MH (Direktur Hukum BAKAMLA), Ichsan Firdaus (Anggota Komisi IV DPR RI), Kolonel Laut Dr. Krisno Bintoro mewakili Kastaf TNI AL, Dr. Zulhamsyah Imran (Pengamat Kelautan IPB ) serta Anton Leonard (Sekjen HNSI).
Lebih lanjut, Ketum KMI menjelaskan dimana praktek penangkapan ikan Illegal merupakan tindakan kriminal lintas negara terorganisir dan menyebabkan kerusakan serius bagi Indonesia dan negara-negara lainnya (secara ekonomi, sosial, dan ekologi). "Jelas praktik ini merupakan tindakan yang melemahkan kedaulatan wilayah suatu bangsa ," tukas Edi.
Pengelolaan kelautan patut merefleksikan serta mampu sejahterakan memakmurkan rakyat Indonesia. Senada dengan amanah konstitusi dasar Indonesia pasal 33 UUD 1948 ayat (3) yang berbunyi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai dan dipergunakan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat.
Sementara itu, Direktur Hukum Bakamla, Laksamana Pertama Yuli Darmawanto menyampaikan untuk mengendalikan keamanan laut itu 'unpredictable'. "Dimana sektor laut digunakan sebagai penyelundupan, situasinya makin komplek. Mengapa tidak bersama menyelesaikan?" ungkapnya.
"Itu kan musuh bersama, ayo mari bersama-sama. Kunci pengamanan laut adalah sinergi, karena ini kebutuhan praktik kenegaraan sesuai yang ada di dunia Internasional. Memang sudah ada formatnya dan mengikuti ke arah sana, soalnya wilayah ASEAN wilayah laut terbesar Indonesia," papar Yuli Darmawanto.
"Bila semua stakehoulder ada di dalam satu wadah. Dengan catatan tidak eliminasi satu sama lain, namun menyatukannya saja. Intinya memiliki kewenangan untuk kesemua penindakan tindak pidana berada di laut," jelasnya.
"Tindakan Illegal Fishing tidak hanya menimpa merugikan manusia dan lingkungan laut, namun bisa langgar kedaulatan negara dan merusak hubungan diplomasi antar negara," terangnya lagi.
Memang kedepan menurut Dirkum Bakamla ini menjelaskan bahwa, salah satu faktor penyebab IUU Fishing, salah satu upaya melindungi zona kelautan dunia yang dari sejumlah 14 zona fishing di dunia, ada 2 (dua) di Indonesia, salah satunya terbesar di Indonesia.
"Bakamla hanya ada sekian Kapal, dari sejumlah 2.300 seluruh instansi penegak hukum, bila seluruh armada dikomparasi sejumlah 2.400 an, maka itu diperlukan optimalisasi dan standarisasi belum optimal sejauh ini," urainya.
Selain itu, setelah clusterisasi jenis Ikan bahkan pencemaran, tindak pidana 'penyelundupan orang' pula menurut pemaparan Yuli Darmawanto disebutkan tidak bisa berdiri sendiri. Muatan kapal tidak hanya minyak, namun narkoba juga kadang perbudakan disitu juga.
Untuk itu, sambung Laksamana Pertama Yuli Darmawanto menegaskan, kedepan diperlukan pencegahan, baik upaya Preventif dan juga Represif. "Diperlukan sistem keamanan laut terpadu dan sinergi peranan negara menyeluruh satukan stakehoulder. Bukan terpisah-pisah, namun satu," sarannya.
"Alangkah indahnya ke depan itu kalau kapal Pemerintah apapun dalam konteks pembinaan administrasi dan kekuatannya, dalam rangka dan demi menjamin keamanan internasional, mereka hanya satu saja," tukas Laksamana Pertama Yuli Darmawanto.
Soalnya, memang patut dipahami bahwa menurut hukum laut dimana yang memiliki kewenangan penegakan hukum itu hanya ada di kapal perang dan kapal Pemerintah. Kapal perang dilindungi pasal 29 UNCLOS, dan kapal Pemerintah pasal 95 dan 96 UNCLOS.
"Maka itu sistem yang diharapkan nanti dapat implementasikan seluruh unsur alat Pemerintah, yang non kapal perang flet statusnya sama kapal Pemerintah," harapnya.
Kemudian, di waktu sesi seminar, Kolonel Laut TNI AL Dr. Krisno Bintoro mewakili KASAL Laksamana Laut Ade Supandi, menyampaikan bahwa situasi permasalahan operasional, patut dipahami, Indonesia dalam poros maritim dunia yang berada di posisi silang strategis.
"Yang jadi pertanyaan adalah mengapa keberadaan posisi seperti itu, namun kondisinya masih seperti ini saja?" tanyanya, seraya menjelaskan dimana GDP-nya lebih kecil dari Singapura, padahal dimasa kerajaan Sriwijaya, Majapahit terkenal besar dan bisa Jaya karena laut.
Selanjutnya, Kolonel TNI AL Krisno Bintoro memaparkan bahwa, menurut data FAO kecenderungan ke depan nanti dimana mencermati bila sumber pangan dunia habis, namun Indonesia diteropong oleh FAO hasil perikanan sangat besarnya. "Life Line ekonomi dunia, perekonomian dunia lewat Indonesia, namun yang jadi pertanyaannya dapat apa?" kemukanya kembali.
Patut disadari bahwa karena kekayaan sumberdaya alam akan menjadi magnet, baik positif dan negatif.
Kolonel Krisno Bintoro mengatakan, kalau Indonesia mampu bergerak dari sektor perikanan dan Marine Tourisme. "Masalah ikan, dimana diharapkan bisa langsung dijual, lalu kemudian untuk sektor pariwisata maritim yang digunakan untuk di luar juga. Itulah langkah quick win untuk menuju ke negara sesuai yang kita cita citakan," Jelasnya.
"Tugas TNI bukan berperang, namun memiliki peran yang besar menegakkan kedaulatan wilayah, sesuai dengan yang ada di UU TNI, saat berbicara kedaulatan laut, UU ZEE mengatur, bahkan UU dari semenjak jaman Hindia Belanda juga mengatur," paparnya.
"Kemudian dalam penindakan yang merupakan Kejahatan Korporasi bukan hanya yang di lapangan ditindak, namun korporasinya yang mestinya bertanggungjawab," Jelasnya lagi.
"Namun kondisinya malah justru aspek hukumnya yang memang lemah, dan tidak bisa menjangkau yang memiliki korporasi itu," tutup Kolonel Krisno Bintoro.(bh/mnd) |