JAKARTA, Berita HUKUM - Siang itu, raut wajah Al Fatih tampak pucat. Tangan mungilnya terbalut kain perban putih yang disangga menggunakan bidai spalk.
Dalam balutan itu, terpasang pula sebuah selang Intravena (IV) yang mengalirkan darah dari sebuah kantung berisi darah merah, yang tergantung di sebuah tiang besi beroda tiga. Ini adalah proses transfusi darah yang harus dijalani Al Fatih secara rutin, seumur hidupnya!
Sejak terdiagnosis mengidap penyakit talasemia di usia yang baru menginjak 4 bulan, ia sudah menjalani transfusi darah setiap satu bulan sekali. Kini, usianya sudah beranjak 3,5 tahun.
Umaimah alias Imah, ibu dari Al Fatih mengisahkan, putra keduanya tersebut terlahir secara sehat dan normal. Berat badannya kala itu hampir 3 kilogram. Sehingga, ia sudah menerima imunisasi pertama, yaitu vaksin hepatitis B (Hb-0).
Akan tetapi, saat usianya menginjak 3 bulan, Al Fatih terserang demam tinggi dan dilarikan ke rumah sakit terdekat.
"Enggak mau nenen (menyusu). Demam tinggi. Bibirnya putih pucat dan lemas," tutur Imah saat ditemui di Gedung Kiara Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Rabu, 27/04.
Saat tiba di rumah sakit tersebut, Al Fatih langsung mendapatkan pertolongan pertama. Ia juga menjalani tes darah untuk mengetahui jumlah sel darah merah (hemoglobin). Akan tetapi, penyakitnya belum terdeteksi dengan pasti. Sehingga diperlukan tes lanjutan.
Sejak saat itu, Imah mengaku anaknya seringkali keluar masuk rumah sakit lantaran demam. Beragam tes laboratorium yang cukup panjang telah dijalani. Mulai dari Complete Blodd Count (CBC), hingga pemeriksaan genetic yang dilakukan melalui tes DNA. Bahkan, Imah dan suaminya turut menjalani serangkaian tes panjang tersebut.
Hasilnya, di luar dugaan, Imah dan suami memiliki gen pembawa sifat talasemia. Sehingga gen tersebut berpotensi menurun kepada buah hati mereka.
Imah dan suami mengaku kaget dan bingung. Kakinya lemas. Dadanya mendadak sesak saat mendengar hasil diagnosisa dari dokter, yang menyebut Al Fatih mengidap penyakit talasemia mayor. Sebuah penyakit yang namanya cukup asing, tapi mengerikan.
"Waktu itu, dokter bilangnya kalau penyakit talasemia belum ada obatnya. Satu-satunya jalan, yah, dengan transfusi darah seumur hidup. Saya enggak bisa bayangin. Bayi baru 4 bulan bakal dicubles (ditusuk, red) jarum terus seumur hidupnya," jelas Imah.
Melansir dari situs Kemenkes RI, talasemia merupakan penyakit kelainan darah merah yang diturunkan dari kedua orang tua kepada anak keturunannya.
Penyakit ini disebabkan berkurangnya atau tidak terbentuknya protein pembentuk hemoglobin utama manusia. Hal ini menyebabkan eritrosit mudah pecah, sehingga pasien menjadi pucat karena kekurangan sel darah merah.
Talasemia sendiri diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu, talasemia mayor, intermedia dan talasemia minor.
Sejak putranya terdiagnosa memiliki penyakit talasemia mayor, Imah mengaku lupa dengan rangkaian imunisasi dasar yang seharusnya sudah diterima anaknya yang waktu itu berusia 4 bulan. Perhatiannya saat itu hanya tertuju pada penyakit genetik yang masih asing di telinganya.
"Enggak kepikiran soal imunisasi sama sekali waktu itu. Sampai dokternya Al tanya soal imunisasi dan buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Dari situ saya baru ngeh. Ternyata anak saya baru di imunisasi sekali," jelasnya.
Imah menambahkan, setelah menjalani tranfusi darah rutin, kondisi Al Fatih berangsur membaik dan stabil. Sehingga, sudah bisa melanjutkan imunisasi dasar yang sempat tertunda.
Menurutnya, proses pemberian imunisasi pada putranya yang mengidap talasemia membutuhkan perhatian khusus. Imunisasi baru bisa diberikan atas rekomendasi dokter spesialis yang menangani anaknya.
"Imunisasinya enggak bisa di puskesmas, tapi, di rumah sakit tempat anak saya transfusi. Hb-nya harus bagus dulu. Baru diimunisasai sama dokter yang nangani Al. Yah, begitu terus sampai sekarang," pungkasnya.
Pemberian imunisasi yang tidak lengkap atau terlambat, merupakan salah satu hambatan dalam upaya peningkatan kekebalan tubuh pada anak. Oleh sebab itu, imunisasi kejar sangat diperlukan guna menyusul keterlambatan imunisasi tersebut.
Apalagi pada balita yang sudah diketahui mengidap penyakit kelainan darah seperti talasemia. Pemberian imunisasi yang lengkap sangat membantu dalam pencegahan tertularnya suatu penyakit. Mengigat pasien talasemia termasuk dalam kelompok yang rentan.
Sangat disayangkan jika sampai terinfeski suatu penyakit yang seharusnya bisa dicegah dengan pemberian imunisasi.
Pada imunisasi kejar, keefektifan vaksin yang diberikan, dinilai tetap bisa memberikan perlindungan yang optimal pada anak. Bahkan, pada penyintas talasemia yang sudah pernah melakukan operasi pengangkatan limpa sekalipun. Ini disampaikan oleh Health Officer Immunization UNICEF Indonesia, dr.Sartini Saman.
"Pada pasien talasemia yang limpanya sudah diangkat, tubuh lebih rentan terkena infeksi. Justru dengan imunisasi lengkap akan membantu melindungi," ungkap dr.Sartini saat dikonfirmasi pada Jumat, 29/04.
Menurutnya, keterlambatan pemberian imunisasi pada anak seharusnya segera dikejar dan dilengkapi. Karena semakin cepat diberikan, maka semakin cepat pula anak terlindungii dari berbagai penyakit menular yang bisa dicegah dengan imunisasi.
Ia menambahkan, UNICEF mendukung Kementerian Kesehatan agar setiap anak mendapatkan haknya untuk sehat. Salah satunya dengan mendapatkan layanan imunisasi lengkap, tepat waktu dan berkualitas.
Buku KIA Hilang, Muhammad Ali Belum Menerima Vaksin DPT
Kisah berbeda datang dari Ruri Luli Yanah, Ibu dari Muhammad Ali. Penyintas talasemia mayor yang sudah terdiagnosis sejak berusia 1 tahun.
Sama seperti Al Fatih, Muhammad Ali juga melakukan transusi darah secara rutin, tiap satu bulan sekali di Rumah Sakit Harapan Bunda, Jakarta.
Menurut Ruri, putra kelimanya tersebut terlahir secara normal dan sehat. Dengan berat badan lahir 2,5 kilogram. Sejak usia 0 bulan, Ali sudah mendapatkan imunisasi dasar rutin sampai usianya 9 bulan.
Akan tetapi, saat usianya menginjak 12 bulan, imunisasinya terhenti. Ini dikarenakan kondisi Ali yang drop. Ia terserang demam. Kadar hemoglobinnya anjlok di angka 6 d/dL. Wajahnya pucat dan lemas. Sebuah gejala yang lazim dialami oleh anak dengan talasemia.
Perempuan 40 tahun ini mengaku, dia sudah menyiapkan diri dengan adanya tanda-tanda yang muncul tersebut. Mengingat anak keduanya juga terdiagnosis mengidap penyakit yang sama. Dan sudah berpulang saat usia 16 tahun.
"Anak saya yang kedua juga kena talasemia. Belum lama ini sudah meninggal. Sama seperti Ali, kena talasemia sejak usia 1 tahun," jelasnya, Minggu (25/04).
Ruri dan suami memang diketahui sama-sama pembawa sifat talasemia. Namun, tidak semua anak mereka mengidap penyakit kelainan darah tersebut.
Menurutnya, dari kelima anaknya tersebut, dua diantaranya terdetektsi mengidap talasemia mayor. Sedangkan ketiga lainnya, sehat, alias tidak memiliki gen pembawa sifat talasemia.
Sebelum terdiagnosis talasemia, Ali tumbuh dan berkembang seperti anak-anak seusianya. Ia juga mendapatkan imunisasi dasar di posyandu. Akan tetapi, untuk imunisasi DPT-nya, belum komplet.
"Seingat saya, sudah dapat HB, BCG, Polio dan DPT-nya sudah 2 atau 3 kali begitu. Buku KIA-nya sudah hilang sih. Saya enggak hafal jadinya. Tapi sudah lengkap kok seingat saya," tuturnya.
Ruri menambahkan, sejak Ali baru lahir sampai usia 9 bulan, ia sudah membawa buah hatinya tersebut untuk melakukan imunisasi secara rutin ke Posyandu. Akan tetapi, sejak umur 1 tahun dan terdiagnosia talasemia, Ruri mengaku sudah tidak pernah membawa putranya ke posyandu lagi.
Padahal, untuk anak yang sudah beranjak 1 tahun ke atas, seharusnya masih menerima beberapa imunisasi dasar seperti MMR, Polio, Hib, Tifoid, Hepatitis A, Pneumokokus dan DPT.
Pemberian Vaksin Difteri Pertusis Tetanus (DPT) keempat seharusnya sudah diterima oleh balita berusia 18 hingga 24 bulan. Namun, hingga usianya yang sudah menginjak 5 tahun, Ali belum mendapatkan vaksin tersebut.
Amankah, Imunisasi Dasar pada Anak Penyintas Talasemia?
Menurut Prof.Dr.dr. Soedjatmiko, Sp,A(K) M.Si, pemberian imunisasi pada bayi dengan talasemia, diperbolehkan dan aman. Akan tetapi dengan catatan khusus yakni, kadar HB atau Hemoglobin pada bayi harus berada pada angka normal.
"Normalnya, untuk anak 2 hingga 6 tahun, Hb-nya antara 11,5 hingga 13,5 d/dL. Jadi, bayi talasemia ini boleh diberikan imunisasi dengan catatan, tranfusi darah dulu. Normalkan dulu," jelasnya, Rabu, 11/04.
Soedjatmiko menambahkan, selain kadar hemoglobin yang diharuskan normal, bayi yang hendak diberikan imunisasi harus dalam kondisi fisik yang sehat. Tidak sedang demam, batuk, pilek dan tidak sedang mengonsumsi obat yang menekan sistem kekebalan tubuh.
"Pada talasemia ini, pasien tidak pernah diberikan obat penekan kekebalan tubuh. Jadi, beda dengan leukimia yang mempengaruhi kekebalan tubuh," jelas Soedjatmiko.
Ia menekankan bahwa imunisasi merupakah hak anak. Sehingga harus diberikan sebagai pemenuhan hak anak untuk mendapatan kesehatan. Jika diketahui ada imunisasi yang terlewatkan, hendaknya orang tua atau pendamping anak segera mengejar dan melengkapi ketertinggalan tersebut.
"Segera kejar. Karena pada dasarnya, semua anak yang terlahir di dunia ini, dilindungi oleh hak anak dan undang-undang perlindungan anak. Dan kita tidak boleh melakukan diskriminasi," pungkas Soedjatmiko.
Imunisasi Bayi Talasemia, Harus Lengkap untuk Cegah Infeksi Berat
Menurut Plt. Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes RI, dr. Prima Yosephine menyebutkan, bayi yang terlahir dengan talasemia seharusnya mendapatkan imunisasi lengkap.
"Untuk bayi dengan talasemia, boleh diberikan imunisasi. Baik minor maupun mayor," jelas dr.Prima di Jakarta, Rabu, (20/04).
Prima menambhakan, justru pada pasien talasemia harus bagus atau lengkap imunisasinya. Karena jika terkena infeksi akan lebih berat, jika dibanding dengan bayi sehat lainnya.
Meski lebih rentan terkena infeksi, tidak semua anak dengan talasemia menerima imunisasi dasar yang lengkap. Seperti yang dikisahkan Ruri, ibu Ali.
Bahkan, di usianya yang kini sudah menginjak 5 tahun, Ali belum mendapatkan vaksin DPT keempat. Buku KIA-nya pun sudah hilang. Sehingga, Ruri hanya mampu mengingat bahwa anaknya sudah tidak diimunisasi sejak terdiagnosis talasemia mayor. Padahal, saat itu usia Ali baru 1 tahun.
Potret imunisasi dasar yang dilakukan Ali, tidak menutup kemungkinan dialami juga oleh ribuan bayi penyintas talasemia di Indonesia.
Menurut data yang dihimpun Yayasan Thalassemia Indonesia (YTI), jumlah penyintas talasemia di Indonesia terus bertambah. Salah satu pengurus YTI, Bangkit Prayoga mengatakan per April 2022, ada lebih dari 10 ribu penderita talasemia di Indonesia.
"Ada 10.973 penyintas. Ini data terbaru dari beberapa rumah sakit. Untuk wilayah Jakarta sendiri, lebih dari 800 pasien. Sedangkan untuk cakupan imunisasi, kami belum punya datanya," sebut Bangkit, Senin, (18/04)
Meski relatif sedikit jika dibandingkan dengan penyakit kronis lain, namun penyakit kelainan darah tersebut memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Karena akan berdampak fatal bila ada kecenderungan diabaikan. Mengingat Indonesia termasuk dalam ‘thalassemia belt’ atau ‘sabuk talasemia’ dunia. Artinya negara dengan frekuensi gen atau angka pembawa sifat talasemia yang tinggi.
Pada 2016, prevelensi talasemia mayor di Indonesia berdasarkan data dari UKK Hematologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencapai 9.121 penderita. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah. Hingga kini, pasien yang berhasil tercatat sudah mencapai 10.973. Dan diperkirakan ada 2.500 bayi lahir dengan talasemia setiap tahun di Indonesia.
Menurut asisten penelitian dokter Divisi hematologi onkologi medik, RSCM Jakarta, yang juga merupakan penyintas talasemia, Marni Suminarsih, talasemia ibarat puncak gunung es.
"Yang hanya tampak kecil dari atasnya. Jadi, bawah gunung es yang besar itu, belum tahu. Karena banyak juga yang belum tercatat sebagai gen pembawa sifat talasemia ini," jelas Marni, Kamis, (28/04).
Meski diperkirakan ada sekitar 2.500 bayi talasemia yang baru lahir di Indonesia, Kementerian kesehatan belum memiliki data cakupan imunisasi dasar pada bayi talasemia secara spesifik.
Dokter Prima mengklaim, anak dengan talasemia pada umumnya sudah rutin melakukan pemeriksaan dan transfusi darah. Dan biasanya, imunisasi diberikan oleh dokter yang merawat mereka. Sehingga data cakupan imunisasi pada anak talasemia tidak tercatat secara spesifik.
Menurutnya, anak dengan talasemia merupakan bagian dari anak-anak yang menjadi sasaran pemberian imunisasi rutin. Sehingga dalam pencatatan data cakupan imunisasi, tidak pernah dibedakan pencatatannya.
"Di Kemenkes, kami belum memiliki data khusus. Cakupan imunisasinya tidak secara spesifik menjadi target tersendiri," jelas dr. Prima.
Sementara itu, Ruri, ibu dari Muhammad Ali, berharap, pemerintah memberikan perhatian yang lebih untuk anak dengan talasemia. Baik dari segi imunisasi lengkap, hingga peningkatan layanan kesehatan yang membutuhkan pengobatan seumur hidup.
"Semoga pemerintah lebih meningkatkan lagi pelayanan bagi penyintas talasemia, karena penyakit talasemia kan seumur hidup. Dan saat ini belum ada obat untuk penyembuhan total. Semoga dapat perhatian yang lebih lagi dari pemerintah," pungkasnya.(bh/na) |