SERPONG, Berita HUKUM - Perekayasa Ahli di Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) pada lingkup teknologi dan pengembangan Batrei Lithium, Prof. Evvy Kastini, optimis kegiatan bisnis impor Baterai Lithium akan bisa dihentikan pada tahun 2020.
Menurut Evvy, dengan dibangunnya Laboratorium Baterai Terpadu pada awal tahun 2014 oleh Pusat Sains dan Teknologi Bahan Maju milik Batan, diharapkan soal bagaimana pemanfaatan sumber daya lokal, khususnya didalam penggunaan material tetap berjalan pada koridor yang telah disepakati.
“Saat ini sejumlah ahli rekayasa kita telah menguasai teknologi baterai Lithium. Kami telah mengetahui bagaimana membuat agar baterai ini tetap ramah lingkungan namun tetap memiliki peningkatan efisiensi. Tantangan kedepan adalah bagaimana menyediakan sumber daya lokal sebagai bahan material dan aplikasi nanoteknologinya,” papar Evvy Kastini pada Berita HUKUM, Senin (13/10) usai menghadiri Konferensi Internasional Material Sains dan Teknologi di Gedung Dewan Riset Nasional, Serpong, Tangerang.
Sumber daya lokal yang dimaksud adalah ketersediaan bahan baku singkong sebagai unsur utama dalam pembuatan anoda dan katoda baru, sebagai bagian dari elemen lithium maupun ketersediaan tempurung kelapa sebagai pelapis luar akan bahan baku baterai.
“Soal bagaimana penyediaan bahan baku lokal, ini sedang kami diskusikan karena dari sisi teknologi kita sudah kuasai. Kami harap setelah peningkatan kemampuan pada 2015, selanjutnya kami akan merangkul tim ahli hukum agar bahan baku yang kita butuhkan dapat disediakan untuk kebutuhan nasional,” papar Evvy menjelaskan.
“Karena ketersediaan bahan baku lokal untuk pembuatan baterai ini memang belum ada landasan hukumnya. Jika hal ini sudah bisa kita selesaikan, saya optimis kita akan stop mengimpor baterai lithium,” ungkap Evvy menambahkan.
Adapun menurut Kepala Batan, Prof. Djarot Sulistyo Wisnubroto, bangsa yang maju pada masa mendatang adalah bangsa yang mampu mengusai teknologi, salah satunya adalah memiliki penguasaan pada teknologi baterai lithium.
“Coba kalian bayangkan, di masa mendatang itu semua hal akan memakai tenaga baterai. Saat ini yang sudah terlihat adalah penggunaan gadget dan bidang telekomunikasi. Sedangkan di negara maju, transportasi umum berbasis listrik sudah berjalan. Lalu kalo kita tidak bisa menguasai dan terus mengimpor baterai, bagaimana nanti masa depan Indonesia?,” ungkap Djarot mengingatkan pada Berita HUKUM, saat dijumpai di Gedung Dewan Riset Nasional.
Menurut Djarot, hingga saat ini pasokan baterai litium didapat dari PT Nipress Tbk, yang mampu memproduksi 6.000 baterai lithium pada tahun ini. Selain PT Astra Motor yang turut meyumbangkan ketersediaan import pada aki baterai motor dan mobil.
Sebagai permulaan, Nipress menginvestasikan US$1,5 juta di pabrik seluas 500 meter persegi. Pabrik baru itu ditargetkan mampu memproduksi 20 baterai lithium. Untuk sementara, baterai akan dipasok untuk kebutuhan kendaraan seperti bus dan multi purpose vehicle (MPV) di ajang Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Nusa Dua Bali.
Sebelumnya, Nipress berencana meningkatkan kapasitas produksi baterai industri hingga 250.000 unit per tahun dan penjualan 155.000 unit. Pada tahun ini pula perusahaan menargetkan penjualan mencapai 4,3 juta unit baterai atau setara Rp925,22 miliar dengan rincian 2,03 juta unit baterai aki sepeda motor dan 2,1 juta aki mobil.
Mengenai keberadaan Nipress dan Astra, Evvy Kastini menjelaskan keberadaan kedua perusahaan itu merupakan bagian dari kerjasama pada tingkat konsorsium. Hasil rekayasa teknologi tidak akan bermanfaat jika tidak dilibatkannya pihak industri selaku pemegang pasar.
"Kedua perusahaan itu merupakan bagian dari konsorsium. Saat ini mereka diberi mandat Pemerintah untuk mengembangkan dan menyediakan ketersediaan baterai lithium. Namun, kami harap pada 2020, ganti kita yang memimpin. Yaitu semua ketersediaan dan kebutuhan baterai lithium kita yang sediakan bukan lagi mereka," pungkas Evvy menjelaskan.(bhc/mat)
|