JAKARTA, Berita HUKUM - Pemerintah Indonesia tidak memberikan syarat khusus bagi pelancong asal China, ketika negara ini mulai melonggarkan kebijakan bagi penduduknya untuk bepergian ke luar negeri.
Sebelumnya, China dilaporkan mengalami gelombang Covid-19 dengan ruang ICU di rumah sakit yang penuh. Karena alasan itu, sejumlah negara termasuk Amerika Serikat, Italia, Jepang, Malaysia, dan India menerapkan syarat ketat bagi kedatangan turis asal China. Di antaranya memperlihatkan hasil tes negatif Covid-19
Sementara itu, ahli kesehatan memperingatkan agar pemerintah memberi pantauan 14 hari terhadap pelancong dari China yang masuk ke Indonesia, sebagai langkah antisipasi.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 pemerintah Indonesia mengungkapkan tidak ada perlakuan khusus terhadap pelaku perjalanan dari China.
Pemerintah menggunakan rujukan aturan beberapa bulan lalu untuk memeriksa pelaku perjalanan luar negeri yang masuk ke Indonesia. Bukan hanya dari China, aturan ini juga berlaku untuk pelancong dari negara-negara lainnya.
"Peraturan itu masih berlaku untuk PPLN [Pelaku Perjalanan Luar Negeri] dari mana pun berasal," sebut juru bicara Satgas Penanganan Covid-19, Profesor Wiku Adisasmito melalui pesan tertulis kepada BBC News Indonesia, Rabu (28/12).
Prof Wiku mengirimkan Surat Edaran Satgas No. 25 Tahun 2022. Dalam surat ini diatur pelaku perjalanan luar negeri, baik WNI atau WNA yang masuk ke Indonesia wajib melampirkan surat keterangan sudah divaksin sedikitnya dua kali.
Alur pelaku perjalanan dari luar negeri harus melalui sejumlah pemeriksaan berdasarkan SE Satgas No. 25/2022. Aturan ini berlaku mulai Oktober sampai waktu yang belum ditentukan.
Bagi yang belum divaksin dengan kondisi kesehatan khusus, maka pelaku perjalanan harus mengantongi surat keterangan RS pemerintah negara asal.
Adapun tes PCR baru dilakukan ketika pelaku perjalanan menunjukkan gejala Covid atau memiliki suhu tubuh di atas 37,5C. Jika tidak, maka orang bersangkutan bisa meninggalkan bandara dan berbaur dengan masyarakat.
BBC News Indonesia telah meminta untuk wawancara lebih lanjut kepada Prof Wiku, akan tetapi tidak mendapatkan jawaban. Begitupun sejumlah pejabat di kementerian kesehatan.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menanggapi pelonggaran perjalanan keluar negeri China dengan mengatakan, "Ada apa pun dari mana pun, ya tidak ada masalah."
"Asal nanti sero [serologi] survei kita sudah di atas 90%, artinya imunitas kita sudah baik," kata Jokowi kepada wartawan, Senin (26/12).
Survei serologi digunakan untuk mengukur respons sistem imun masyarakat terhadap SARS-CoV-2. Pada survei serologi yang dilakukan Juli lalu, menunjukkan proporsi "penduduk yang mempunyai antibodi SARS-CoV-2 mencapai 98,5%, penduduk yang mempunyai antibodi SARS-CoV-2 mencapai 98,5%
Namun, hasil survei serologi terbaru belum keluar. Kemungkinan hasil ini menjadi pertimbangan pemerintah mencabut kebijakan Covid-19.
"[hasil kajian] belum sampai ke meja saya," tambah Jokowi.
Sejumlah negara menerapkan syarat ketat terhadap pelancong asal China.
Sebelumnya, warga China berbondong-bondong memesan tiket perjalanan ke luar negeri setelah Beijing mengumumkan melonggarkan aturan Covid-19 mulai 8 Januari.
Pelonggaran bepergian ke luar negeri bagi warga China dilakukan setelah negara itu menerapkan kebijakan ketat selama tiga tahun terakhir.
Namun, tak semua negara mau begitu saja menerima pelancong asal China.
Italia menjadi negara Eropa pertama yang mewajibkan tes Covid bagi pengunjung dari China.
Amerika Serikat juga sudah mensyaratkan tes negatif bagi pelancong asal China karena khawatir dengan lonjakan kasus, dan kurangnya transparansi dari pemerintah China.
"Ada kekhawatiran yang meningkat di komunitas internasional tentang lonjakan Covid-19 yang sedang berlangsung di China, dan kurangnya transparansi data, termasuk data pengurutan genom virus," kata pejabat AS dalam pernyataannya.
Negara lain yang mensyaratkan pelancong asal China untuk menunjukkan hasil tes negatif Covid-19 adalah Jepang dan India.
Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Profesor Tjandra Yoga Aditama, mengakui sejauh ini data Covid di China masih "belum terlalu jelas tentang jumlah kasus dan kematian."
"Berita di media ada yang berbeda dengan keterangan resmi pemerintah [China]," kata Prof Tjandra.
Dalam keterangan sebelumnya, Kepala Kedaruratan WHO dr. Michael Ryan mengatakan unit perawatan intensif (ICU) sibuk meskipun pejabat pemerintah mengatakan angka kasus "relatif rendah".
Untuk itu, Prof. Tjandra meminta pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pengawasan bagi pendatang dari China, termasuk kemungkinan kejadian penularan dan juga sampai ke analisa pengurutan genom virus.
"Tindakan yang datang dari China, kalau menurut saya paling tidak pengawasan yang ketat. Hari ini, saya nggak tahu kalau besok-besok, karena Covid ini kan sangat mungkin berubah," kata Prof. Tjandra sambil menambahkan pelancong dari China harus dipantau pergerakannya setidaknya 14 hari sejak datang di Indonesia.
Subvarian Covid China di Indonesia
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tahun ini China mengalami tiga gelombang Covid-19.
Puncak gelombang terakhir terjadi pada awal Oktober di mana kasus terkonfirmasi mencapai 333.830, dengan kematian 412 kasus.
Ahli virologi dari Universitas Udayana, Profesor I Gusti Ngurah Kade Mahardika, mengatakan gelombang Covid di China terjadi karena virus omicron subvarian BA.5.2 dan BF.7.
Kedua virus tersebut setelah ia lacak melalui GISAID - platform berbagi data terbuka tentang hasil urutan gen virus - juga ditemukan di Indonesia.
"Artinya, virus yang mewabah di China ini sudah lama ada di Indonesia," kata Prof. Gusti.
Prof. Gusti menjelaskan gelombang Covid yang terjadi di China tak lepas dari kebijakan nol-Covid yang diterapkan secara ketat oleh Presiden Xi Jinping. Dampaknya, karena terkurung terlalu lama, warga China tidak memiliki imunitas yang mumpuni untuk menghadapi Omicron karena tak pernah terpapar virus.
"Ketika kasus meningkat drastis, pasti ada implikasi, ada jumlah orang yang perlu perawatan rumah sakit yang meningkat, dan meninggal dunia," tambah Prof. Gusti.
Di Indonesia, kata Prof. Gusti, masyarakatnya telah melewati masa-masa omicron apa yang ia sebut sebagai "berkah".
"Karena berkahnya adalah dia lebih ringan gejalanya, sehingga lebih cepat menyebar, sehingga proporsi penduduk yang mempunyai antibodi alami, itu lebih banyak dari kita," tambahnya.
Namun, ia tetap memperingatkan agar pemerintah memperhatikan kelompok lanjut usia (lansia) dan mereka yang memiliki penyakit bawaan. Sebab, Omicron "berisiko tinggi" terhadap kedua kelompok tersebut.
'Negara-negara wajar proteksi diri dari pelancong China'
Gelombang Covid yang terjadi di China, menurut pendiri lembaga pemerhati kesehatan masyarakat CISDI, Diah Suminarsih, karena negara tersebut menggunakan vaksin dari virus yang dilemahkan.
Vaksin asal China yang juga mendominasi disuntikkan ke penduduk Indonesia, tingkat kemanjurannya lebih rendah dibandingkan vaksin yang dibuat dengan mRNA - lewat potongan protein virus untuk memicu antibodi dalam tubuh.
"Kenapa ICU nya penuh? Karena tingkat keparahannya tidak teredam oleh vaksin yang dipakai di negara tersebut," kata Diah saat dihubungi.
Sejauh ini, Diah juga melihat adanya kewajaran negara-negara membatasi pelancong dari China bukan sebagai bentuk diskriminasi, tapi sebagai upaya "mengamankan keadaan nasionalnya."
"Secara politik nasional, kalau nanti terjadi ledakan, saya nggak bilang hanya Indonesia, tapi di mana pun negara, kalau terjadi kasus lagi, itu akan sangat costly untuk situasi politik, keamanan nasional, dan pembangunan nasional di negara tersebut.
on hold (tertahan) hampir tiga tahun. Baru saja orang mau mulai lagi, kalau sampai meledak lagi kayak di China, nggak mau dong," kata Diah yang juga mantan perwakilan Indonesia di WHO.(BBC/bh/sya) |