JAKARTA, Berita HUKUM - Gerakan Jaga Indonesia (GJI) sangat menyayangkan Gubernur DKI Anies Baswedan yang tidak berkenan menerima perwakilan GJI untuk bertatap muka saat aksi damai dan untuk rasa GJI di Balai Kota DKI Jakarta pada Kamis (29/11).
Pernyataan tegas atas sikap Gubernur DKI Jakarta itu disampaikan elemen GJI dalam konferensi pers oleh Boedi Djarot sebagai koordinator lapangan GJI terkait pemberian izin gerakan massa 212, bertempat di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Jum'at malam (30/11).
Dari informasi yang beredar, aksi damai yang digelar massa GJI pada Kamis (29/11) kemarin di Balai Kota DKI Jakarta, bertujuan untuk memberikan masukan dan meminta pertimbangan kembali soal pemberian ijin aksi massa Reuni 212 yang akan digelar di kawasan Monas, Jakarta pada 2 Desember 2018 mendatang.
"Adapun agar maksud dan tujuan kehadiran kami dipahami secara penuh, tidak sepotong-sepotong. Alasan (unjuk rasa) kami adalah untuk meminta pertimbangan kembali memberikan ijin 'Reuni 212'," kata Boedi Djarot
Berikut alasan mendasar pernyataan tegas GJI, agar menjadi bahan pertimbangan Gubernur DKI Jakarta dalam memberikan ijin massa' Reuni 212' tersebut :
1. Bahwa gerakan 212 pada tahun lalu adalah sebuah gerakan damai dengan massa cair sehingga yang hadir pada saat itu terdiri dari berbagai segmen masyarakat beragama Islam yang mencari keadilan atas dugaan penistaan agama dan masalah sudah selesai.
2. Yang kami persoalkan dan meminta agar Bapak Gubernur mempertimbangkan kembali pemberian ijin berawal dari pertanyaan, bagaimana elemen masyarakat yang cair dan berasal dari berbagai segmen masyarakat, masing-masing bersepakat mengadakan Reuni. Dari temuan kami, terindikasi adanya upaya sekelompok elemen masyarakat pro perjuangan menghidupkan kembali H T l, secara terorganisir dan berencana mempolitisasi gerakan 212 yang damai menjadi sebuah gerakan politik yang salah satu agendanya meniadakan bendera merah-putih dan menggantikannya dengan bendera H T l. Sementara organisasi ini secara resmi telah dinyatakan sebagai Organisasi terlarang di wilayah hukum NKRI.
3. Jadi yang kami tentang bukan gerakan 212 yang damai dan membanggakan itu, tapi upaya politisasi gerakan damai ini menjadi gerakan politik. Dimana rencana pengibaran bendera HTI dalam perhelatan tersebut yang akan dilakukan oleh kelompok tertentu, dan bagi kami merupakan upaya yang jelas-jelas merupakan rencana yang perlu diwaspadai. Sehingga kepada Bapak Gubernur kami mintakan jaminan bahwa upaya pengibaran bendera HTI dan ceramah yang bersifat membakar dan memecah belah umat tidak terjadi.
4. Sikap tegas penolakan kami jelas bukan terhadap perhelatan 212 yang sejuk dengan massanya yang damai, namun sikap penolakan tegas kami tertuju pada Pemberian ijin Monas digunakan sebagai tempat perhelatan atas nama 212 yang bermuatan politik. Terlebih lagi dikarenakan sekelompok masyarakat yang akan turut merayakan 'reuni' 212 telah secara terbuka menginstruksikan anggota kelompoknya untuk meniadakan bendera merah putih dan menggantikannya dengan bendera HTI.
Karena diyakini dengan berlindung di balik pemahaman kalimat tauhid yang melekat di bendera tak akan diusik oleh aparat mana pun. Sementara di negara Arab Saudi sendiri, dan beberapa negara bernafaskan Islam, bendera serupa dilarang untuk dikibarkan. Untuk itulah kami mendatangi Bapak Gubernur untuk berdialog sekaligus meminta jaminan bahwa pengibaran bendera HTI dan orasi-orasi yang memecah belah umat tidak akan terjadi..
5. Upaya menjaga Indonesia sekaligus menjaga perhelatan 212 yang Damai dan membanggakan tetap sebagai perhelatan sosial keagamaan yang sejuk, damai dan membanggakan setiap pemeluk agama Islam, dan yang juga dihormati oleh pemeluk agama lainnya.(bh/amp) |