ACEH, Berita HUKUM - Sebelumnya, Walikota Lhokseumawe Suaidi Yahya melarang kaum perempuan duduk ngangkang saat mengendarai sepeda motor. Kini, giliran Bupati Aceh Utara, H. Muhammad Thaib, dalam setiap sambutanya diberbagai kegiatan acara baik pemerintahan maupun temu ramah dengan masyarakat seringkali menyampaikan bahwa perempuan dewasa dilarang menari di muka umum.
Alasan tersebut menurut bupati bahwa, perempuan dewasa non muhrim yang berlenggak-lenggok ataupun memamerkan kemolekan tubuhnya di depan publik itu sesuai Syari'at Islam hukumnya haram.
Terkait persoalan itu, banyak kalangan menilai pernyataan yang disampaikan oleh bupati terkesan ingin mencari sensasi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ketua Lembaga Forum Budaya Aceh, Syamsuddin Jalil atau yang lebih akrab disapa Ayah Panton, yang ditemui pewarta BeritaHUKUM.com, Senin (27/5).
"Bupati Aceh Utara sepertinya sedang mencari sensasi ataupun popularitas, dan kalaupun seperti itu kenapa tidak ditutup saja seni budaya yang ada di Pendopo," ujarnya.
Wacana itu dinilai bagus, katanya, namun alangkah afdhalnya jika pemerintah terlebih dahulu melakukan musyawarah dengan jajaranya dan menggodok peraturan itu sampai matang. Nah, setelah itu benar-benar bisa diaplikasikan kepada masyarakat, kemudian baru bisa disampaikan ke publik.
"Jangan sepenggal dalam menyampaikan aturan," katanya lagi. Yang namanya tarian dan ataupun seni budaya sejak dulu sudah melekat di masyarakat Aceh seperti tarian saman, ranup lampuan, dan seudati. Sehingga jika tarian itu dilarang maka warisan seni budaya Aceh terancam punah.
Pun demikian, Ayah Panton meminta kepada kepada Bupati Aceh Utara agar larangan itu sebaiknya dikaji kembali dan segera diluruskan. Sebab, wacana itu menimbulkan kontroversi terutama bagi kaum perempuan. Ibarat dalam pribahasa “Bek Pulot Pantang, Blukat Pajoh”. Artinya, kenapa anak-anak boleh menari tapi orang dewasa tidak boleh, jelasnya.(bhc/sul)
|