JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Hak interpelasi yang digalang sejumlah anggota DPR merupakan sebuah aksi akal-akalan dari semua fraksi. Mereka yang mendukung dicabutnya moratorium remisi dan pembebasan bersyarat koruptor itu, memiliki kepetingan tertentu di balik semua itu.
Demikian dikatakan Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho kepada wartawan di Jakarta, Senin (12/12). Pihaknya sepakat dengan pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD bahwa para legislator yang mendorong hak interpelasi di DPR terhadap keputusan Menhukam yang menghentikan remisi dan bebas bersyarat, adalah mereka prokoruptor.
"Kami setuju yang dikatakan Pak Mahfud. Yang ingin ajukan hak interpelasi itu kepentingan siapa? Benar tidak, mereka itu yang ada di DPR mau serius bantu pemberantasan korupsi. Kalau memang serius, mengapa mengajukan hak interpelasi," ujar Emerson.
Menurutnya, keputusan yang dikeluarkan DPR, selalu memiliki kepentingan politik yang menguntungkan bagi partai politik. Sedangkan keputusan interplasi terhadap putusan Menkum HAM yang menghentikan remisi bagi koruptor, para legislator sebenarnya memiliki target untuk mementahkan kebijakan itu, yang tujuannya sudah bisa ditebak arahnya.
"Tujuan para anggota DPR itu jelas, membebaskan teman-temannya yang masih di penjara. Indikator adanya kepentingan legislator terhadap hak interplasi soal kebijakan penghentian sementara remisi itu terlihat, aktifnya para inisiator hak interpalsi. Sebut saja Partai Golkar yang getol mengusung interpelasi untuk bebaskan Paskah Suzeta dan kader Golkar lainnya. PPP ada Bachtiar Chamsyah, dan PDI-P ada Panda Nababan. Interplasi cuma akal-akalan saja," tegas Emerson.
Sebelumnya, Wamenkumham Denny Indrayana menegaskan, pengetatan remisi bagi narapida korupsi akan terus dilakukan meski pihak DPR RI menentang kebijakan tersebut. Alasannya, kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat untuk terpidana kasus korupsi dilaksanakan Kemenkumham dengan kajian hukum yang hati-hati dan akurat.
“Surat Keputusan Pembebasan bersyarat yang telah diterbitkan, belum berkekuatan berlaku sepanjang belum dilaksanakan. Demikian bunyi diktum ketujuh SK yang akan membebaskan bersyarat para koruptor tersebut. Jadi selama belum dilaksanakan dapat dibatalkan. Itulah yang dilakukan," jelas Denny.
Lebih lanjut Denny menjelaskan akan tetap pada pendiriannya untuk membatalkan Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat yang belum dilaksanakan. Pasalnya, pembatalan itu bukan dengan perintah lisan, tetapi dengan SK Pencabutan. Kebijakan ini kami keluarkan untuk Indonesia yang lebih bersih dari korupsi," tandas Denny.(tnc/spr/rob)
|