JAKARTA, Berita HUKUM - Berdasarkan keterangan para saksi dan bukti beserta alat bukti rekaman CCTV, pernyataan Saksi Tommy Sumardi di persidangan, yang menuding Terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte menerima uang secara bertahap sebesar SG$200 ribu dan US$270 ribu untuk pengurusan red notice Joko Soegiarto Tjandra, merupakan serangkaian kebohongan, dan keterangan palsu menurut Napoleon Bonaparte.
Menurut Napoleon Bonaparte, keterangan Tommy Sumardi pada saat menjadi saksi telah meruntuhkan bangunan, yang menjadi skenario rekayasa kasus (legal engineering), selama ini. Artinya, keterangan tersebut telah mematahkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Karena keterangan Tommy Sumardi pada saat penyidikan, telah terungkap dipersidangan, yang merupakan keterangan palsu.
"Rangkaian kebohongan yang dilakukan saksi Tommy Sumardi, yang antara pelbagai kebohongan itu, terdapat hubungan sedemikian rupa, dan kebohongan yang satu, melengkapi kebohongan yang lain, sehingga secara timbal balik, menimbulkan sutau gambaran palsu, seolah-olah merupakan suatu kebenaran. Padahal sejatinya adalah keterangan palsu, yang oleh Penuntut Umum dijadikan bahan baku pembuatan surat dakwaan," ujar Napoleon Bonaparte selaku terdakwa usai memberikan kesaksian terhadap Tommy Sumardi di PN Jakarta Pusat pada Senin (4/1).
Lebih lanjut mantan Kadivhubinter Polri itu menyatakan bahwa keterangan Tommy Sumardi di depan persidangan, pada 27 April 2020, bersama Brigjen Pol Prastyo Utomo itu, Ia datang menemui Irjen Pol Napoleon Nonaparte di ruang kerjanya, di Lantai 11, Gedung TNCC Mabes Polri. Namun keterangan Saksi Tommy Sumardi, baik di BAP, maupun di persidangan, terkait peristiwa tanggal 27 April 2020, telah "terpatahkan" oleh barang bukti, petunjuk rekaman CCTV, yang diputar di depan persidangan, yang diperlihatkan pada pukul 15.54 WIB. Disitu tampak Saksi Tommy Sumardi dan saksi Prasetijo Utomo, turun dari mobil Alphard warna putih, No. Pol B-114-FAU, berjalan masuk Lobby Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta Selatan, dan keluar lobby Gedung TNCC Mabes Polri, pada jam 16.02 WIB, artinya hanya sebentar, sekitar 8 menit saja.
"Waktu 8 menit habis terpakai, hanya untuk masuk Gedung TNCC Mabes Polri, berjalan menuju depan lift lantai 1, menunggu pintu lift terbuka, lalu naik ke lantai 11, kemudian turun lagi, menunggu pintu lift terbuka untuk menuju lantai 1, dan berjalan keluar Gedung TNCC Mabes Polri," jelasnya seraya mengatakan bahwa setelah naik ke lantai 11 dan masuk ke ruang Kadivhubinter Polri, Tommy Sumardi mengaku bertemu dulu dengan staf Terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte untuk meminta diberitahukan perihal kedatangannya kepada Kadivhubinter. Selanjutnya baru dipersilahkan masuk dan bertemu.
"Pada saat pertemuan, Saksi Tommy Sumardi mengaku melihat Prasetijo Utomo menyerahkan uang sebesar usd 50.000 kepada Irjen Pol Napoleon Nonaparte, namun ditolaknya. Bahkan menurut keterangan Saksi Tommy Sumardi lagi, terjadi negosiasi dimana Irjen Pol Napoleon Nonaparte, menaikkan permintaan dari Rp. 3 milyar, menjadi Rp. 7 milyar, dengan alasan untuk petinggi kita yang merupakan atasan saya," ucapnya sambil mengatakan atas permintaan tersebut, Tommy Sumardi malahan mengaku sempat menelpon Joko Soegiarto Tjandra untuk minta persetujuan.
"Berdasarkan rekaman CCTV membuktikan Tommy Sumardi hanya 8 menit berada di dalam Gedung TNCC Mabes Polri. Jadi berkesesuaian dengan Berita Acara Konstruksi. Dalam adegan No 8 diterangkan: Tanggal 27 April 2020 jam 15.54 WIB, Tersangka Tommy Sumardi, Tersangka Brigjen Pol Prasetijo Utomo turun dari mobil Alfhard warna putih No. Pol B-114-FAU berjalan masuk lobby Gedung RNCC Mabes Polri, Jakarta Selatan. Tersangka Brigjen Pol Prasetijo Utomo membawa paper bag warna gelap".
Pada adegan No 13 diterangkan: "Tanggal 27 April 2020 jam 16.02 WIB, Tersangka Tommy Sumardi dan Tersangka Brigjen Pol Prasetijo Utomo, meninggalkan Lobby Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta Selatan dan masuk ke dalam mobil Alphard warna putih No. Pol B-114-FAU yang didalamnya ada saksi Winarno aias Wiwid dan saksi Supiadi. Tersangka Brigjen Pol Prasetijo Utomo membawa paper bag warna gelap".
Berdasarkan fakta tersebut -- maka kesaksian Tommy Sumardi di depan persidangan, tentang adanya peristiwa pertemuan yang menghasilkan "kesepakatan" hasil negoisasi dengan Terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte, di ruang kerjanya yang meminta biaya dinaikan menjadi sebesar Rp 7 Milyar, dan dikonsultasikan melalui telepon kepada Joko Soegiarto Tjandra, adalah merupakan keterangan palsu.
Pertemuan semacam itu dimana ada negosiasi segala membutuhkan waktu minimal 15 menit. Faktanya, kedatangan Saksi Tommy Sumardi pada tanggal 27 April 2020 ke Gedung TNCC Mabes Polri hanya menelan waktu 8 menit.
"Sejatinya pada tanggal 27 April 2020 itu, Saksi Tommy Sumardi tidak bertemu dengan Terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte. Hal ini berkesesuaian dengan kesaksian Terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte, saksi Fransiscus Dumais, dan saksi Dwi Jayanti Putri, dan Brigjen Pol Prasetijo Utomo yang kompak menyatakan pada tanggal 27 April 2020 itu Tommy Sumardi tidak bertemu Terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte," ujarnya lagi.
Kesaksian palsu Tommy Sumardi diulangi lagi dalam memberikan keterangan tentang peristiwa pertemuan dan penyerahan uang tanggal 28 April 2020, 29 April 2020. Keterangan palsu Tommy Sumardi yang lainnya juga terbongkar habis. Termasuk pengakuan palsunya, yang menyatakan tidak pernah bertemu lagi Kabareskrim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo pada sepanjang tahun 2020.
Usai Tommy Sumardi mengaku seperti itu di depan persidangan, Terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte lalu maju ke depan menghampiri meja majelis hakim menyerahkan bukti foto Tommy Sumardi tengah berada di ruang kerja Kabareskrim, memimpin doa ulang tahun Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo yang dirayakan secara terbatas pada taggal 5 Mei 2020. Ini artinya Tommy Sumardi lagi-lagi berbohong.
Keterangan Palsu
Menurut Irjen Pol Napoleon Bonaparte, semua keterangan Saksi Tommy Sumardi selain palsu juga dikualifisir sebagai kesaksian "Unus Testis Nullus Testis" - tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.
Pada bulan Maret 2020, sebelum mengenal Terdakwa Irjen Pol Napoloen Bonaparte, atas permintaan Joko Soegiarto Tjandra untuk mengecek red notice di Divhubinter Polri, Tommy Sumardi meminta uang sebesar Rp. 25 milyar kepada pemilik Hotel Mulia itu. Terjadi negosiasi, Joko Sugiarto Tjandra meminta diturunkan Rp. 5 milyar. "Saat itu saya tidak setuju, seminggu kemudian, Joko Soegiarto Tjandra mengubungi saya kembali untuk membicarakan berapa yang saya minta terkait pengurusan red notice tersebut dan pada saat itu disetujui Rp. 10 milyar akan diserahkan kepada saya untuk mengurusan pengecekan red notice" ujar Tommy Sumardi di depan persidangan.
Rekayasa Perkara
Di akhir kesaksian Tommy Sumardi, Terdakwa Irjen Pol Napoloen Bonaparte secara mengejutkan meminta kepada majelis hakim untuk memutar rekaman testimoni Tommy Sumardi di kamar tahanan sesaat setelah ditahan. Permintaan tersebut tidak dikabulkan majelis hakim untuk diperdengarkan tadi malam. Namun diperbolehkan diputar pada saat pemeriksaan terdakwa.
Terdakwa Irjen Pol Napoloen Bonaparte akhirnya membacakan transkipsi testimoni yang berisi pengakuan Tommy Sumardi, bahwa kasusnya dan Irjen Napoleoen Bonaparte itu direkayasa Kabareskrim Polri, dengan motif untuk menyelamatkan Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo dari pertarungan tahta Kapolri yang bakal digelar pada Januari 2021.
Dalam persidangan Tommy Sumardi mengaku telah mengenal Kabareskrim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo sejak masih menjabat Kapolsek Kalimalang, berpangkat Ajun Komisaris Polisi.
Tatkala skandal Joko Soegiarto Tjandra mencuat nama Kabareskrim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo menurut Tommy Sumardi dikaitan terlibat, sehigga dihantam kelompok kiri dan kanan termasuk datang dari arah Pasar Minggu (BIN).
Jalan satu-satunya untuk membantah ketidakterlibatannya dalam skandal Joko Soegiarto Tjandra, adalah dengan mentersangkakan Tommy Sumardi, dengan persangkaan memberi suap. Lantaran Tommy Sumardi dijadikan sebagai pihak pemberi maka harus ada pihak penerima suap. Untuk itu ditetapkanlah Irjen Pol Napoleon Bonaparte dan Brigjen Pol Prasetijo Utomo sebagai pihak yang menerima suap.
Padahal sesuai testimoni Tommy Sumardi, uang dari Joko Soegiarto Tjandra sejatinya tidak pernah diserahkan kepada Terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonarte. Melainkan masih ada di brankas Tommy Sumardi.
Selanjutnya Tommy Sumardi mengaku, lawyer untuk dirinya dan Joko Soegiarto Tjandra dipersiapkan oleh Kabareskrim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo. Keterangan Tommy Sumardi di BAP yang ada kalimat yang tengah berada di Bareskrim hendak menghadap Kabareskrim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo dihilangkan.
Lalu Kabareskrim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo membawa BAP Saksi Tommy Sumardi yang sudah diubah itu ke Presiden Joko Widodo guna mengklarifikasi dirinya tidak terlibat dalam skandal kasus Joko Soegiarto Tjandra.
Dengan demikian tak pelak lagi Tommy Sumardi terbukti telah memberikan keterangan palsu di muka persidangan dapat diancam dengan sangsi pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 22 UU Tipikor. Dan pada sisi lain meruntuhkan bangunan dakwaan jaksa penuntut umum secara keseluruhan dan mendasar.
Fakta persidangan yang muncul dalam perkara terdakwa Irjen Pol Napoloen Bonaparte di pengadilan negeri Jakarta Pusat, dapat dikualifikasikan sebagai rangkaian penegakan hukum yang "menuntut seseorang atas perbuatan yang tidak dilakukannya" melalui proses yang tidak adil (conviction of a person for a crime he did non commit or wrongful conviction, referring to a conviction reached in an unfair process). Dalam bahasa terang yang lain kami menyebutnya sebagai korban praktek mafia hukum. Disebut mafia hukumlantaran tidak ada lagi frasa yang lain, yang lebih tepat untuk dilekatkan kepada para pelakunya.
Sejak awal cukup banyak keganjilan yang muncul dalam penyidikan perkara yang terjadi pada pusaran skandal kasus Joko Soegiarto Tjandra. Bermula ,konteksnya hanya untuk mengecek status red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra, lalu berubah menjadi pengurusan penghapusan red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra.
Padahal status red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra sudah terhapus by system sejak tahun 2014. Kemudian dalam Surat Dakwaan, Jaksa Penuntut Umum merubah konteks dari penghapusan red notice menjadi penghapusan DPO atas nama Joko Soegiarto Tjandra. Padahal antara red notice dan DPO adalah dua hal yang berbeda.
Dalam konteks penghapusan DPO bukanlah wewenang Kadiv Hubinter Polri yang dijabat oleh terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte. Di Polri tentang DPO telah jelas diatur dengan jelas sesuai Perkaba Nomor: 3 Tahun 2014 pasal 15, yang diperjelas dalam Lamporan "O".
Parahnya lagi, berdasarkan undang-undang imigrasi tidak mengenal istilah DPO. Imigrasi hanya mengenal istilah cekal dan tangkal, yang berlaku paling lama hanya 1 tahun. Bila Joko Soegiarto Tjandra diasumsikan dalam status cekal, maka hanya berlaku 1 tahun sejak dilekatkan. Pada tahun 2019 Joko Soegiarto Tjandra tidak lagi dalam status cekal.
Pertanyaan kiritisnya, mengapa lalu dalam surat dakwaan muncul uraian peristiwa ada pencabutan status DPO atas nama Joko Soegiarto Tjandra setelah pihak imigrasi menerima surat dari NCB Interpol tertanggal 5 Mei 2020 itu?
Irjen Pol Naopelon Bonaparte berpendapat, kasus ini diwarnai adanya syahwat kekuasaan oknum petinggi Polri yang ingin menciptakan gebrakan fenomenal semu untuk kepentingan pencitraan dirinya menjelang pergantian Kapolri, agar terpansos bersih. Dengan menetapkan diri kami seorang Irjen Polisi sebagai tersangka dan ditahan, memberi dampak kesan tegas, serta dengan congkak dapat berkata, "Saya tidak pernah ragu usut tuntas tanpa pandang bulu hingga ke akar-akarnya".
Dengan demikian, menurutnya, fakta-fakta yang berhasil terungkap dalam pembuktian dipersidangan ini, bukanlah dakwaan penuntut umum mengenai adanya perbuatan pidana Terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte. Melainkan justeru yang terbukti, adalah serangkaian kebohongan dan keterangan palsu oleh penuntut umum.
Ini sebuah ironi, kata Napoleon sekaligus tragedi dalam proses penegakan hukum di Indonesia. "Perbuatan JPU yang membuat keterangan palsu dan serangkaian kebohongan dalam surat tuntutannya dikualifisir merupakan kejahatan yang serius," pungkasnya (bh/ams)
|