JAKARTA, Berita HUKUM - Berdasarkan hasil quick count, Jokowi yang diusung PDIP dan Partai Gerindra melaju ke putaran kedua Pilgub DKI. Sebagian menilai dia terlalu berambisi, karena nekat maju saat masih menjadi walikota Solo. Benarkah? Dan apakah dia tidak akan tersandera Partai jika nanti terpilih sebagai Gubernur DKI?
Dalam berbagai kesempatan, Jokowi tak menunjukkan ambisi yang menggebu. Saat isu menggelinding dirinya dicalonkan sebagai Gubernur DKI, ia bahkan menyebut tidak punya potongan sebagai gubernur. Bahwa kemudian ia akhirnya maju, alumnus Fakultas Kehutanan UGM ini beralasan hanya menuruti perintah Partai.
Kehidupan politik Jokowi dimulai saat ia dicalonkan PDIP sebagai Walikota Solo periode 2005-2010 dan sukses dengan slogan Kota Solo yaitu "Solo: The Spirit of Java". Sebelumnya, ia bukan siapa-siapa. Bukan kader partai. Bukan pula Ketua Partai. Dia hanya pengurus Asosiasi Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin).
Beruntung, Ir. Joko Widodo (lahir di Surakarta, 21 Juni 1961; umur 51 tahun) disandingkan dengan FX Hadi Rudyatmo atau akrab disapa Rudi yang merupakan kader tulen PDIP, sehingga untuk urusan kepartaian, dia tidak blank. Saat itu, dua pesaingnya, Achmad Purnomo dan Hardono lebih terkenal, karena banyak berkecimpung di dunia organisasi dan politik.
Demi menaikkan popularitas, saat itu Jokowi mulai menyambangi warga, dari kampung ke kampung. Ini juga dilakukan saat dia mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI. Cara ini rupanya sangat efektif ketimbang mengumpulkan massa atau berkoar-koar di media.
Ketika akhirnya terpilih dengan perolehan yang tak terlalu mencolok, Jokowi menyimpulkan dengan nada yang sangat merendah," Itu kecelakaan. Mungkin kebetulan saja, warga ingin pemimpin yang tidak terkenal."
Sebagaimana visi awalnya, 5 tahun pertama, program Jokowi adalah menata kota dan birokrasi. PKL direlokasi dengan cara manusiawi, tanpa demonstrasi dan anarki. Pasar tradisional dikelola lebih rapi. Birokrasi diatur sedemikian rupa untuk berprinsip melayani. Langkah ini--meski tidak selalu mulus -- menuai respons positif. Lelaki 51 tahun itu meraih predikat walikota antikorupsi dan termasuk kandidat walikota terbaik di dunia.
Karena dinilai berhasil, Jokowi diminta maju lagi untuk periode berikutnya. Namun dia tidak langsung menerima. Lelaki ceking ini memilih bersikap hati-hati, khawatir dukungan itu hanya rekayasa politik. Untuk meyakinkan benar tidaknya dukungan itu, Jokowi melakukan survei sebanyak dua kali. Hasilnya 60 persen warga ingin dia jadi walikota lagi.
Setelah yakin, Jokowi akhirnya menerima tawaran itu dan bertarung melawan Eddie Wirabhumi (menantu Pakubuwono XIII yang maju melalui Partai Demokrat) untuk jabatan walikota 2010-2015. Terbukti, Jokowi yang masih bersanding dengan Rudi menang telak. Perolehan suaranya di atas 90 persen, jauh melampaui perkiraan survei.
Saat sebagian besar kepala daerah menjabat ketua atau pengurus partai, Jokowi tidak. Ketua DPC PDIP Solo dipegang wakilnya, Rudi, sedangkan Jokowi rela berada second line. Balas jasa terhadap partai pengusung, hanya terlihat saat Jokowi memfasilitasi kegiatan-kegiatan PDIP di Solo seperti Rakernas dan lain-lain.
Selama menjabat walikota, tidak terdengar sekali pun Jokowi berkonflik dengan partai. Sepertinya PDIP yang menaunginya, enjoy dengan kiprah Jokowi yang dinilai bisa menaikkan pamor partai itu. Sedangkan Jokowi sendiri merasa mendapat ruang lebih leluasa untuk berkreasi dan berinovasi.
Tapi dengan embel-embel Partai Gerindra, Prabowo Subianto, dan Pilpres 2014, apakah kiprah ini akan berlanjut saat Jokowi dipercaya menjadi Gubernur DKI? (bhc/dtc/rat) |