JAKARTA (BeritaHUKUM.com) - Karo Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johan Budi menyatakan bahwa pihaknya mengajukan banding, terhadap vonis terdakwa kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia, Nunun Nurbaeti.
Menurut Johan, vonis hakim Tipikor tersebut terlalu ringan, dan tidak sesuai dengan tuntutan tim jaksa penuntut umum KPK yang meminta Nunun dihukum empat tahun penjara. "Vonisnya tidak sesuai dengan tuntutannya," ujarnya saat ditemui wartawan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (15/5).
Menanggapi hal tersebut, salah satu tim pengacara Nunun, Mulyaharja mengatakan, keputusan banding itu merupakan hak KPK. "Ibu Nunun mengatakan itu (banding) hak KPK karena KPK memiliki pertimbangan sendiri tentang mengajukan banding tersebut," ujarnya.
Sementara Mulyahardja mengaku akan mempelajari dahulu memori banding yang akan diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk selanjutnya memutuskan apakah akan mengajukan kontra memori banding atau tidak. "Saya tinggal tunggu memori banding dari KPK saja. Setelah dipelajari baru mempertimbangkan perlu atau tidaknya mengajukan kontra memori banding," katanya.
Sebelumnya tim pengacara Nunun yang lain, Ina Rachman menyatakan bahwa kliennya tidak akan banding. Pasalnya Nunun menilai kalau vonis hakim sudah adil. "Kami menghormati keputusan majelis hakim Tipikor dan kami harus percaya bahwa keputusan itu merupakan keputusan yang adil bagi Ibu NN," ungkapnya melalui pesan singkat yang diterima wartawan, Senin (15/5).
Pada kesempatan yang terpisah, suami Nunun, Komjen (Purn) Adang Darajatun menilai kalau putusan atas perkara istrinya tersebut sudah adil. Dengan demikian, istrinya tidak perlu mengajukan banding.
Seperti diberitakan sebelumnya, majelis hakim Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis dua tahun enam bulan penjara ditambah denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan kepada Nunun. Putusan ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang minta Nunun dihukum empat tahun penjara.
Selain itu, Majelis Hakim tidak menyita uang Rp 1 miliar yang berada direkening Nunun. Padahal dalam tuntutannya, Jaksa meminta uang tersebut disita karena merupakan hasil pencairan cek perjalanan itu.
“Soal tuntutan perampasan uang Rp 1 miliar adalah tidak tepat," kata Ketua Majelis Hakim, Sudjatmiko, dalam amar putusannya yang dibacakan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Selatan, Rabu, (9/5).
Majelis hakim menguraikan, pada 8 Juni 2004, Nunun memberi suap dalam bentuk cek perjalanan senilai total Rp 20,8 miliar kepada sejumlah anggota DPR 1999-2004 melalui Arie Malangjudo. Cek tersebut merupakan bagian dari total 480 lembar cek BII senilai Rp 24 miliar yang diberikan kepada anggota DPR periode 1999-2004, antara lain Hamka Yandhu (Fraksi Partai Golkar), Dudhie Makmun Murod, Endin AJ Soefihara, dan Udju Juhaeri.
Sehari sebelumnya, tepatnya 7 Juni 2004, Nunun mengadakan pertemuan dengan Hamka Yandhu dan Arie di kantor Nunun di Jalan Riau Nomor 17, Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, Nunun meminta saksi Arie membantunya menyerahkan tanda terima kasih kepada anggota dewan. (dbs/biz)
|