JAKARTA, Berita HUKUM - Kaum buruh akan terus mensikapi dan menindaklanjuti terkait rekomendasi dari rapat panja komisi IX yang dilangsungkan pada 25 april 2016 lalu di Gedung DPR RI, yang akan tetap menuntut pencabutan PP Pengupahan nomor 78/2015, karena merugikan kaum buruh," ujar M. Rusdi sebagai Sekjen KSPI dengan tegas, saat jumpa pers di bilangan Jl. Diponogoro, Jakarta Pusat, Jumat (27/5).
Hadir para pentolan perwakilan Serikat Pekerja Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) saat jumpa pers KSPI di hadapan para awak media cetak, elektronik dan online dari pantauan pewarta BeritaHUKUM.com yaitu; Said Iqbal sebagai Presiden KSPI, M. Rusdi sebagai Sekjen KSPI, Ali Akbar sebagai wakil Presiden KSPI, Dedi Hartono sebagai anggota dewan pengupahan KSPI Jakarta, Sofian Abdul Latief sebagai Waketum Bidang Pengupahan dan Suryadi dari bidang Farmasi Kesehatan.
Seperti diketahui, perihal Rapat Internal Panja Pengupahan Komisi IX DPR RI dengan tenaga ahli bidang Ketenagakerjaan Komisi IX DPR RI yang diketuai rapatnya oleh Dede Yusuf sebagai Ketua komisi IX DPR RI dan Minarni sebagai Kabag Sekretariat komisi IX DPR RI pada 25 April 2016 lalu. yang dilangsungkan di ruang rapat komisi IX DPR-RI secara tertutup untuk umum di Gedung Nusantara I Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat yang dihadiri 22 orang dari 31 anggota panja pengupahan Komisi IX DPR RI dan 3 orang TA bidang Ketenagakerjaan Komisi IX DPR RI.
Sekjen KSPI, M Rusdi juga turut mengapresiasi pihak DPR RI yang masih punya nurani dan bertindak objektif dalam memperhatikan aspirasi nasib kaum buruh di Indonesia, dimana Pemerintah membuat peraturan baru yang mestinya tidak meninggalkan kewenangan daerah, sambungnya meneruskan hasil kesimpulan Panja.
Menurutnya ini adalah kemenangan politik bagi kaum buruh, dimana hampir semua Fraksi berpartisipasi dalam berusaha menerima aspirasi buruh dimana komisi IX sudah bekerja luar biasa dari pembentukan Panja RUU, dan telah menghasilkan 4 poin putusan oleh sebab itu kami KSPI mengumumkan :
"Apa yang kita tuntut PP 78 melanggar Undang-Undang nomor 13 pasal 88, dimana penetapan upah minum harus berdasarkan rekomendasi / masukan dari dewan pengupahan dari hasil survey KHL dengan 68 item. Namun, penerapannya hanya sebatas dari inflasi dan PDB yang ada. UM (Upah Minimum) dibatasi dan sektoral dihilangkan jelas ini pemiskinan sistematis," jelas Sekjen KSPI, M Rusdi.
Selain itu juga, Sekjen KSPI menyatakan, dengan tegas menolak penggusuran di Jakarta demi kepentingan kaum pemodal dan meyayangkan dana untuk membayar aparat keamanan berasal dari para pengusaha itu dan menolak reklamasi.
"Dibanyak daerah banyak yang membatalkan upah di bidang sektoral, dan dipersulit. Sangat terlihat rezim ini hanya mau mendengarkan dari pihak pengusaha saja," ungkapnya.
Penting menjadi catatan, bahwa hasil kesimpulan menyebutkan Komisi IX DPR RI mendesak Pemerintah untuk mencabut PP no. 78 / 2015 tentang pengupahan. Meminta Pemerintah membuat peraturan Pemerintah yang baru dengan formula baru yang tidak bertentangan dengan UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan.
Kemudian Komisi IX DPR RI juga meminta Pemerintah untuk tidak meninggalkan kewenangan daerah (Tripartit), hak berunding (Bipartit), penetapan KHL, dan penetuan inflasi daerah per satu tahun sekali. Selain itu juga, meminta Pemerintah menyelesaikan peraturan Pemerintah tentang pengupahan yang baru dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan dengan sebelumnya disosialisasikan dahulu.
Senada dengan pandang Sekjen KSPI tersebut, Waketum Bidang Pengupahan dari KSPI, Sofyan Abdul Latief menyampaikan, perjuangan upah merupakan perjuangan politik soalnya semenjak Orba selalu menganut politik upah murah dan sampai sekarang di lestarikan.
"Memang sudah kami ajukan gugatan ke MK. Namun, ada beberapa pasal yang di judicial review oleh Apindo. Hambatannya dari pihak APINDO, apalagi dari perjuangan juga mengorbankan 26 aktivis buruh," ungkap Sofyan Abdul Latief.
Padahal bila dicermati, menurut Abdul Latief, PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan itu bertentangan dengan hukum. "Peran dan fungsi lembaga di luar fungsi, hingga lembaga ini hanya menjadi stempel dikebiri dengan PDB daerah, padahal lembaga ini yang harusnya memperhatikan KHL, dan juga disesuaikan dengan inflasi soalnya pertumbuhan ekonomi nampak menjomplang sekali," tegasnya, menjelaskan dimana angka inflasi dipengaruhi kepentingan politik.
"Pemerintah harusnya taat hukum. KSPI mengambil sikap dengan memperhatikan Undang-undang. Kondisinya buruh dirugikan, walau 12 paket kebijakan digelontorkan banyak pengusaha kurang merasakan efeknya, bahkan para buruh juga. Ini adalah perjuangan politis, rekomendasi dari komisi IX sebenaranya pemerintah harus taat hukum," cetusnya lagi.
Kemudian selanjutnya, Dedi Hartono selaku Anggota Dewan Pengupahan KSPI Jakarta menyampaikan, turut mengapresiasi atas telah berlangsungnya rapat Panja yang memutuskan agar pemerintah segera mencabut PP 78 dan mengantinya dengan PP baru.
Soalnya akibat adanya PP 78/2015 menurut anggota dewan pengupahan dari KSPI itu, "seluruh perangkat dewan pengupahan di seluruh Indonesia sudah dimandulkan. Biasanya dewan pengupahan melakukan survei KHL dengan adanya UU itu menghentikan dan mengkebiri tindakan survei yang biasa kami lakukan menjelang penetapan UM pada bulan Oktober," jelasnya.
"Dengan pencabutan ini kami berharap agar ada survei KHL sehingga bisa menjadi pembanding kebutuhan hidup di Jakarta," paparnya.
"Kami melakukan survei di pasar modern pada tahun 2015 angka kami mencapai angka 3,5 sedangkan pada tahun ini angka kami di 3,1 kami sudah tekor dan dibangkrutkan secara sistematis sebesar 400 ribu," bebernya.
Intinya, di dewan pengupahan seharusnya sudah menjalankan fungsi dan peranannya dalam menentukan KHL untuk ditahun depan, yang menjadi rekomendasi bagi kita untuk pemerintah baik Gubernur maupun Bupati sebagai patokan penentuan UM.
"Namun untuk wilayah di Jakarta, selain itu juga di daerah Cilacap juga dibatalkan. Bahkan, di Jawa Timur dipersulit. Nampak rezim ini hanya memperhatikan dari para pemilik modal /pengusaha saja, yang mana memiskinkan kehidupan kaum buruh, dan melemahkan daya beli," pungkasnya.(bh/mnd) |