JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) yang dimohonkan oleh kader PPP, AH Wakil Kamal, Selasa (21/6). Pada sidang kali ini, Iqbal Tawakkal Pasaribu selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan perkara No. 45/PUU-XIV/2016 tersebut.
Di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Iqbal menyampaikan telah memperbaiki permohonan sesuai saran hakim pada sidang pendahuluan. Salah satu poin perbaikan terletak pada penambahan batu uji. Sebelumnya Pemohon menggunakan batu uji Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Setelah diperbaiki, Pemohon juga menggunakan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 sebagai batu uji.
"Kami menambahkan batu uji kami, yaitu di Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) tentang kedaulatan berada di tangan rakyat dan menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Jadi, batu ujinya kami tambahkan, Yang Mulia," ujar Iqbal.
Selain itu, Iqbal juga memaparkan bahwa Pemohon juga mengubah petitum permohonan, khususnya petitum terkait Pasal 23 ayat (3) UU Parpol. Pemohon meminta agar pasal tersebut dibatalkan secara keseluruhan.
Sementara terkait Pasal 24 UU Parpol, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk memberikan tafsir konstitusional. "Kemudian di Pasal 24-nya kami meminta tafsir konstitusional, yaitu pendaftaran perubahan kepengurusan belum dapat dilakukan kepada menteri sampai perselisihan sengketa kepengurusan partai politik terselesaikan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," pinta Iqbal.
Sebelumnya, Pemohon selaku kader PPP yang juga menjabat sebagai ketua departemen advokasi HAM PPP menggugat Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 24 UU Parpol. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa campur tangan pemerintah dalam kehidupan partai politik melalui kewenangan mensahkan dan/atau menetapkan perubahan kepengurusan partai politik merupakan wujud pengekangan dan menegaskan kedaulatan tertinggi yang berada ditangan anggota yang dilaksanakan berdasarkan AD/ART partai politik. Ketentuan tersebut juga berpotensi melanggar kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Lebih lanjut menurut Pemohon, kewenangan pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) dalam mengesahkan dan menetapkan perubahan kepengurusan parpol menunjukkan adanya kekuasaan tertinggi yang besifat ganda dalam tubuh parpol karena pada dasarnya parpol telah memiliki forum muktamar atau musyawarah nasional ataupun sebutan lainnya sebagai bentuk kedaulatan anggota dalam menetapkan proses perubahan kepengurusan DPP parpol. Namun UU Parpol justru mengatur kedaulatan di tangan Menkumham yang seharusnya sudah tidak diperlukan lagi.
Pemohon menambahkan, terdapat ketentuan yang berbeda mengenai perubahan kepengurusan dalam Undang-Undang Yasasan, Koperasi dan Perseroan Terbatas menyebutkan cukup diberitahukan atau dilaporkan kepada Menteri, tidak ada ketentuan harus ditetapkan atau disahkan Menkumham sedangkan dalam UU 2/2008 harus disahkan atau ditetapkan oleh Menkumham. Hal ini menunjukkan adanya perlakuan norma yang tidak sama dan tidak adil diantara kedudukan warga negara yang menjadi anggota badan hukum.
Menurut Pemohon campur tangan pemerintah terhadap partai politik khususnya, haruslah dibatasi secara ketat. Menkumham seharusnya bertindak sebatas administratif saja. Mekanisme hukum penyelesaian sengketa atau konflik partai sebaiknya diselesaikan oleh mahkamah partai atau pengadilan.
Dengan mengajukan gugatan ini Pemohon berharap agar Mahkamah menyatakan ketentuan-ketentuan Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 24 UU Parpol mengenai frasa "ditetapkan dengan Keputusan Menteri" sepanjang tidak dimaknai dengan "diberitahukan kepada Menteri" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.(YustiNurulAgustin/lul/MK/bh/sya) |