*Cegah konflik antara warga adat atas penolakan FPI
JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Kapolri Jenderal Pol. Timur Pradopo mendukung langkah yang diambil Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) Agustin Teras Narang dan Kapolda Kalteng Brigjen Pol. Damianus Jackie. Kebijakan memulangkan empat pengurus Front Pembela Islam (FPI) dianggap tepat, karena untuk meredam kondisi yang telah memanas di wilayahnya tersebut.
Apalagi warga adat sejak awal telah menolak kehadiran FPI di Kalteng. Jika tidak diambil langkah itu, dikhawatirkan konflik horizontal akan terjadi. “Langkah itu tepat dalam proses pencegahan konflik dan situasi tidak makin memanas di wilayah itu,” kata Timur Pradopo kepada wartawan di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (14/2).
Tidak hanya menyangkut penolakan FPI, Kapolri juga meminta pejabat daerah dan jajaran kepolisian bertindak cepat terhadap kemungkinan-kemungkinan persoalan yang dapat memicu konflik antarwarga setempat. “Selama hal itu untuk meredam dan mencegah benturan antarwarga dan membahayakan kondisi keamanan, kami sangat mendukung,” tutur dia.
Seperti diketahui, Gubernur Kalteng Teras Narang sempat turun tangan, saat menengahi aksi warga adat di Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya, Kalteng, Sabtu (11/2) lalu. Hal ini dilakukan, karena warga menolak pendirian pengurus FPI Kalteng. Ketua Umum FPI Habib Rizieq Shihab yang berencana hadir, ternyata tidak jadi datang.
Dalam kesmepatan terpisah, anggota DPR RI Abdul Malik Haramain mendesak Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi segera melakukan evaluasi terhadap FPI. Sejumlah orgams sejunis juga harus dilakukan evaluasi, mengingat kerap bertindak melanggar hukum dan meresahkan masyarakat.
“FPI beberapa kali melakukan tindakan anarkis dan penghakiman sendiri. Atas tindakannya telah mengganggu dan mengancam ketentraman dan kenyamanan masyarakat. Ormas sejenis yang kerap melakukan tindakan serupa, juga perlu dievaluasi,” ujar politisi PKB tersebut.
Terhadap pembekuan ormas yang kerap anarkistis, jelas Malik, opsi itu dapat ditempuh sesuai aturan dalam UU Nomor 8/1985 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas). Tapi usulan pembubaran ini harus disertai bukti terjadinya pelanggaran yang nantinya diputuskan dalam pengadilan. "Dalam UU Ormas mekanismenya diatur begitu. Kemendagri bias menjadi semacam penuntut umum,” jelasnya.
Tolak FPI
Sementara siang hari di Bundaran Hotel Indonesia (HI), puluhan orang yang menamakan diri Koalisi Rakyat Indonesia Tanpa Front Pembela Islam (FPI) menggelar aksi unjuk rasa. Mereka memberikan dukungan atas sikap warga adat Kalteng yang menolak kehadiran FPI. Rakyat pun diminta bersatu untuk menentang kebrutalan FPI dan ormas-ormas lainnya yang kerap bertindak anarkis.
Namun, aksi unjuk rasa anti-FPI yang semula berjalan damai dan tertib itu, tiba-tiba mendadak ricuh. Hal ini akibat ulah sejumlah penyusup yang tiba-tiba memukul sejumlah pengunjuk rasa. Suasana pun berubah diwarnai teriakan histerius pengunjuk rasa dari kaum perempuan. Polisi hanya diam saja menyakasikan kebrutalan seseorang menggunakan helm half face yang memukuli pendemo.
Polisi baru bereaksi, setelah seorang pendemo meneriaki polisi untuk menghentikan aksi brutas penyusup itu. Polisi memang bertindak cepat, tapi mereka malah menangkap sejumlah orang dari kubu pendemo yang anti-FPI. Setelah diprotes, barulah mereka dilepas. Penyusup sempat ingin melarikan diri, tapi terlanjut ditangkap sejumlah pendemo dan diserahkan kepada polisi.
Kericuhan akibat ulah penyusup ini, sempat membuat kemacetan di sekitar bundaran HI. Puluhan warga serta pengemudi kendaraan bermotor sempat berhenti untuk menyaksikan peristiwa itu. Setelah para penyusup diamankan polisi, pengunjuk rasa melanjutkan aksinya hingga akhirnya bubar secara tertib.(dbs/wmr/rob/irw)
|