JAKARTA, Berita HUKUM - Pemerintah berencana memberlakukan kebijakan baru terkait pajak karbon. Pengenaan pajak tersebut nantinya akan ditetapkan dalam Rancangan Undang-Undang Perubahan Kelima UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Pajak ini menjadi salah satu bentuk komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 26 persen pada tahun ini dan 29 persen pada tahun 2030 mendatang.
Terkait pajak karbon, Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo sempat mengajukan pertanyaan kepada ketiga mantan Direktur Jenderal Pajak, seperti Fuad Bawazier, Abdullah Ansari Ritonga, dan Hadi Purnomo, yang hadir dalam rapat dengar pendapat umum mengenai masukan RUU KUP. Menurutnya, kategorisasi pajak karbon masih perlu ditinjau kembali apakah masuk dalam aturan terkait cukai atau tetap menjadi pasal baru.
"Pajak karbon harusnya masuk dalam kategori cukai atau memang harus ada penambahan pajak baru, karena ini akan mengatur sisi eksternalnya. Padahal konsepnya kan konsep cukai, yaitu bagaimana pengendalian terhadap konsumsinya. Apakah nanti dengan pajak karbon ini pemungutan pajak, akan seperti apa, dan sebetulnya lebih tepat diatur dicukai atau pajak," tanya Andreas dalam RDPU Komisi XI DPR RI secara virtual, Selasa (6/7) lalu.
Menanggapi hal tersebut, ekonom sekaligus mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier menilai bahwa carbon tax sebetulnya layak untuk diterapkan. Namun mengingat pajak karbon merupakan pajak baru, tentu akan ada banyak dinamikanya sehingga perlu untuk dipelajari lebih lanjut. Untuk bisa diterapkan, peran Direktorat Jenderal Pajak harus lebih ditingkatkan.
"Karena sekarang ini yang saya amati, lebih banyak dikendalikan oleh BKF (Badan Kebijakan Fiskal, red) yang mungkin secara teknis kurang menguasai masalah perhitungannya. Dirjen Pajak itu kesannya ditiarapkan, padahal lebih bisa menghitung dengan lebih teliti. Makanya lebih jadi satu, sekaligus di Dirjen Pajak. Kalau nantinya masuk kategori mana, monggo DPR saja membahasnya," kata Dirjen Pajak periode 1993-1998 itu.
Hal senada juga disampaikan Mantan Dirjen Pajak Abdullah Ansari Ritonga. Menurutnya, pajak karbon perlu diterapkan tidak semata-mata karena mengejar penerimaan negara. Pajak karbon menjadi niat baik pemerintah mengurangi emisi gas rumah kaca, sebagaimana terdapat dalam perjanjian internasional terkait iklim, Paris Agreement. "Tidak semata-mata karena penerimaan negara," ungkapnya.
Sebagai informasi, penerapan pajak karbon akan menggunakan tarif minimal Rp75 per kilogram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Nantinya, subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon, atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Rencananya, pajak baru ini akan mulai berlaku mulai tahun 2022.(alw/sf/DPR/bh/sya) |