JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Pernyataan Pangdam Jaya Mayjen TNI Waris yang mewakafkan diri untuk menghadapi aksi buruh merupakan bentuk nyata pelanggaran terhadap konstitusi, Sapta Marga, dan Sumpah Prajurit. Pernyataan itu sangat keliru dan menunjukkan TNI menjadikan buruh sebagai musuh dengan pilihan, membunuh atau dibunuh.
Demikian yang mengemuka pada diskusi bertema “Penggunaan TNI untuk Menghadapi Demo; Pelanggaran UUD 45” di Jakarta, Selasa (7/2). Diskusi menghadirkan praktisi hukum Johnson Panjaitan, Mantan Kaster TNI Mayjen (Purn) Saurip Kadi, pengamat politik Universitas Paramadina Herdi Sahrasad, pengamat konflik internasional Teguh Santosa, dan Wakil Ketua DPD Laode Ida.
“Pernyataan Waris itu telah menempatkan buruh dan rakyat sebagai musuh. Terhadap musuh, kemungkinannya hanya dua, membunuh atau dibunuh. Tentara punya senjata, sudah pasti yang terbunuh adalah rakyat. Bukankah konstitusi menyebutkan tugas TNI adalah mempertahankan, memelihara, dan melindungi keutuhan dan kedaulatan negara? Kenapa malah memerangi buruh yang dijadikan musuh?” tutur Johnson, seperti rilis yang diterima BeritaHUKUM.com.
Namun, justru Johnson merasa bersyukur dengan adanya pernyataan Pangdam. Pasalnya, Waris justru telah jujur menunjukkan jati dirinya sebagai tentara yang menindas. Sikap itu juga kian menegaskan dominannya demokrasi transaksional di semua lini. Bukan hanya melibatkan para eksekutif, yudikatif, dan legislatif, tapi juga aparat kemanan TNI-Polri.
“Kapolri jelas-jelas mengakui anggota Polri yang menjaga Freeport memperoleh Rp 1,250 juta dari Freeport. Bagaimana kalau sekarang rakyat mengumpulkan uang, dan membayar tentara atau polisi Rp 2 juta, lalu kita minta mereka menangkap dan menembaki koruptor? Bukankah bayaran dari rakyat lebih besar dibandingkan yang mereka terima dari para cukong kapitalis itu?” kata Johnson.
Pernyataan lebih keras datang dari Saurip. Menurut dia, Waris telah nyata-nyata melanggar konstitusi. Apa yang dikatakannya itu, lanjut dia, merupakan bagian dari bentuk kekerasan negara terhadap rakyat. Waris harus tahu, buruh dan rakyat bukanlah musuh negara. Ini harus dihentikan.” Kita jangan takut dituduh anarkis. Bahkan, kudeta pun sah saja, kalau yang diperjuangkan adalah kepentingan rakyat, bukan kepentingan penguasa,” ujar Saurip nada tinggi dan penuh amarah.
Sementara itu, Teguh menilai pernyataan Pangdam Jaya mengisyaratkan kambuhnya penyakit lama tentara, yaitu ingin kembali ke panggung politik. Lewat pernyataan itu, opini rakyat sedang digiring seolah-olah negara dalam keadaan darurat, sehingga perlu pemerintahan yang kuat dan tindakan tegas tentara.
“ini penyakit lama militer yang merasa superior. Mereka merasa seolah-olah militerlah yang menentukan ada-tidaknya negara. Padahal, gagasan kebangsaan tidak dibangun oleh militer. Badan Keamanan Rakyat/BKR dan Tentara Keamanan Rakayat/TKR baru muncul setelah 1945. Bangsa ini dibangun oleh tokoh-tokoh sipil, seperti Soekarno, Hatta, Natsir, Cipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantoro, dan lain-lain. Tak ada kalangan militer,” tandasya.
Seharusnya, lanjut dia, Pangdam menilai para koruptor itulah musuh negara yang telah berlaku anarkis lewat Banggar DPR, korupsi, jual beli pasal dan lainnya. Silakan Pangdam habisi mereka, bukan justru memusuhi buruh. “Itu baru namanya patriot negara yang jasanya takkan pernah hilang dalam sejarah negara dan bangsa ini,” jelas Teguh.
Perjuangkan hak dasar
Sedangkan Herdi mengatakan, tidak sepatutnya tentara menjadikan buruh sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Para buruh yang berdemo itu, semata-mata berjuang, karena upah yang diterima sangat rendah. Pernyataan Waris semakin menguatkan kesan bahwa tentara berprinsip maju tak gentar membela yang bayar.
“Ingat, di zaman revolusi, tentara hidup dari bantuan dan partisipasi rakyat. Setelah gerilya, mereka ke desa-desa minta makan nasi, ketela, dan lainnya dari rakyat. Rakyat adalah air dan tentara ikannya. Kenapa sekarang tentara mau membasmi rakyat. Ini membuktikan bahwa sistem kita masih menggunakan sistem kolonial,” tegas Herdi.
Sementara Laode ida menyebut wajar dan sudah seharusnya bila buruh memperjuangkan hak-haknya. Lagi pula, buruh hanya minta tambahan upah Rp 200.000/bulan. Sementara para anggota DPR, pejabat, dan petinggi militer minum jus yang harganya Rp 75.000/gelas. Ini jelas ketimpangan yang sangat berlebihan. Tragis dan ironisnya, justru tentara akan memusuhi rakyat yang memperjuangkan hak-hak dasarnya.
“Waris ingin cari muka ke SBY dengan melanggar konstitusi, Sapta Marga, dan Sumpah Prajurit. Kita harus mendesak SBY agar mencopot waris. Pers harus terus-menerus menyuarakan desakan ini. TNI berasal dari rakyat, dibayar dengan uang rakyat. Tidak ada alasan bagi TNI untuk melawan dan berhadapan dengan rakyat,” ujar Laode.(rls/rob)
|