JAKARTA, Berita HUKUM - Kebijakan menaikkan harga BBM oleh Presiden Joko Widodo dinilai tidak melewati mekanisme pasal darurat dalam UU APBN 2014. Apalagi, harga minyak dunia sedang turun dan kondisi fiskal juga sedang membaik.
Penilaian tersebut disampaikan Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto di ruang kerjanya, Kamis (20/11). Bila tidak ada kondisi darurut, mestinya pemerintah membicarakan terlebih dahulu dengan DPR soal kenaikan BBM itu. Kondisi darurut yang dimaksud sesuai UU APBN, jelas Agus, yaitu perkembangan asumsi dasar yang tidak lagi sesuai dengan patokan APBN. Misalnya kurs dollar yang tiba-tiba melanjok dan inflasi yang melebihi standar.
“Secara legislasi saya justru melihat ada masalah, karena dengan menaikkan BBM dan dengan tidak membicarakan terlebih dahulu dengan DPR, ini bisa bertentangan dengan UU APBN. Dalam UU APBN dana subsidi minyak sudah dipatok sekitar Rp403 triliun. Sedangkan untuk di 2015 Rp405 triliun. Kalau ada perubahan subsidi harus dibicarakan, karena ini berkaitan dengan APBN,” papar Agus.
Memang ada pasal darurat dalam UU APBN, tapi semua kondisi darurat itu tidak ada. Untuk menyatakan ada kondisi darurut mesti ada analisa makro. “Dan yang paling penting harga ICP sudah dipatok 105 USD per barrel. Apabila ada kenaikan yang signifikan, pemerintah bisa dalam keadan darurut menaikkan harga BBM, tanpa persetujuan DPR. Namun, ini tidak seperti itu kejadiannya. Justru sekarang harga minyak dunia sedang turun dan fiskal kita juga tidak jelek,” ungkap Agus politisi Partai Demokrat ini.
Ditambahkan Agus, pihaknya mengaku terkejut dengan kenaikan itu dan secara politik tidak dapat menerimanya. Kesengsaraan rakyat semakin menjadi, karena sebelumnya sudah ada kenaikan tarif dasar listrik dan gas. Efek sampingnya diyakini Agus semakin meluas. Agus lalu membandingkannya dengan SBY yang selalu memastikan terlebih dahulu dana kompensasi itu sudah diterima rakyat sebelum menaikkan harga BBM. (mh/dpr/bhc/sya) |