Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Eksekutif    
BPJS
Keseriusan Pemerintah Menetapkan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Sosial Dipertanyakan
Saturday 02 Jun 2012 20:42:24
 

Ir.Said Iqbal, Sekjen KAJS (Foto : Ist)
 
JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Komite Aksi Jmainan Sosial (KAJS), memberikan batas waktu pelaksanaan Jaminan Kesehatan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bisa dilaksanakan pada 01 Januari 2014. Demikian salah satu point yang diangkat dalam konrensi pers KAJS beberapa waktu lalu. Disamping itu, KAJS sendiri tidak ingin terjebak dalam polemik berkepanjangan terkait pelaksanaan SJSN Kesehatan tersebut.

“Seluruh pekerja formal, informal, maupun pekerja mandiri yang penghasilannya tidak mencapai angka Upah Minimum yang ditentukan pada daerah setempat, wajib didaftarkan sebagai Penerima Bantuan Iuran.”demikian keterangan KAJS sebagimana tercantum dalam pres releaisnya.

Pasal 1 angka (2) jo. Pasal 6 ayat (1) UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara tegas mengamanatkan kepada BPJS Kesehatan untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan yang menyeluruh untuk seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali (universal healthcare coverage). Pasal 60 UU BPJS mengamanatkan bahwa BPJS Kesehatan mulai beroperasi pada 1 Januari 2014, artinya pada 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan diperintahkan oleh UU untuk sudah mulai melayani program jaminan kesehatan bagi Rakyat Indonesia secara menyeluruh.

Namun hingga waktu menyisakan 18 bulan menjelang 1 Januari 2014, Pemerintah terlihat masih belum memiliki kemauan politik yang kuat untuk bisa melaksanakan jaminan sosial khususnya jaminan kesehatan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) melihat keengganan politik Pemerintah tercermin dari tiga hal, pertama, 6 bulan menjelang batas waktu yang ditentukan UU BPJS untuk pengesahan seluruh aturan pelaksana yang mengatur tentang pelaksanaan BPJS Kesehatan hingga kini belum ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa RPP dan RPerpres akan segera selesai.

Kedua, terlihat dari masih terus berkutatnya Pemerintah dalam perdebatan menentukan kriteria dan definisi dari fakir miskin dan tidak mampu untuk menentukan siapa Rakyat yang berhak mendapatkan bantuan iuran (PBI) dari Pemerintah. Ketidakberanian Pemerintah secara politik untuk memutuskan secara tegas indikator fakir miskin dan tidak mampu dalam Peraturan Pemerintah justru akan memicu permasalahan dalam level implementasi jaminan sosial. Kekhawatiran munculnya potensi, akan banyaknya Rakyat yang bisa saja tidak memenuhi indikator miskin dan tidak mampu versi pemerintah sehingga tetap harus membayar iuran secara mandiri, meski secara ekonomi real mereka tidak mampu, menjadi sangat besar.

Dalam draft rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) Pemerintah mengelompokkan menjadi 3 kategori, yakni, sangat miskin, miskin, hampir miskin. Sebagaimana diketahui, beberapa lembaga Pemerintah mempublikasikan jumlah penduduk miskin yang berbeda antara satu dan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa belum adanya kesamaan dari lembaga tersebut dalam menetapkan indikator miskin, yang jika dipaksakan akan menimbulkan kerancuan.

KAJS secara tegas tidak mau terjebak dalam alur pikir pemerintah yang berpotensi menimbulkan kekacauan dikemudian hari karena ketidakjelasan indikator dari ketiga hal tersebut diatas. Untuk mengetahui indikator yang jelas bagi fakir miskin dan tidak mampu, KAJS mendesak Pemerintah untuk merujuk pada definisi fakir miskin sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2011 tentang Penanggulangan fakir miskin. Dalam UU a quo definisi fakir miskin dan orang tidak mampu adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.

Dengan adanya salah satu indikator kebutuhan hidup layak dalam definisi tersebut, maka untuk merumuskan penerima bantuan iuran, Pemerintah harus merujuk pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sudah terlebih dahulu menggunakan Kebutuhan Hidup Layak sebagai dasar penetapan upah minimum bagi pekerja/buruh. Dengan demikian bagi seluruh pekerja formal, informal, maupun pekerja mandiri yang penghasilannya tidak mencapai angka Kebutuhan Hidup Layak yang ditentukan pada daerah setempat, maka wajib didaftarkan sebagai Penerima Bantuan Iuran. Dengan demikian indikator dalam merumuskan fakir miskin dan tidak mampu menjadi lebih jelas dan terukur, sehingga Pemerintah dapat meminimalisir kemungkinan penerima bantuan iuran tidak tepat sasaran atau belum mencakup Rakyat yang sebenarnya tidak mampu secara real untuk membayar iuran secara mandiri.

Namun tidak hanya hal ini, Pemerintah juga belum terlihat memiliki skema yang jelas, untuk menarik perhatian Pekerja mandiri atau pekerja di sektor informal yang sudah memiliki penghasilan diatas Kebutuhan Hidup Layak, agar tertarik untuk bergabung dalam program jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Hal ini perlu dipikirkan Pemerintah secara seksama, dalam menentukan strategi baik itu melalui sosialisasi manfaat, atau menunjukkan kualitas pelayanan yang lebih baik dari rumah sakit swasta nasional, sehingga dengan sendirinya dapat menimbulkan kesadaran bagi mereka yang belum terdaftar, untuk mendaftar dirinya beserta keluarganya ke BPJS Kesehatan. Sehingga amanat UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN jo. UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS dapat segera terwujud pada 1 Januari 2014.

Menyikapi hal tersebut, Komite Aksi Jaminan Sosial menyatakan sikap : Mendesak Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai leading sektor dalam pembahasan aturan pelaksana atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk menyelesaikan RPP dan Rperpres yang diamanatkan oleh UU SJSN dan UU BPJS paling lambat pada bulan November 2012.

Mendesak Pemerintah untuk menggunakan definisi fakir miskin dalam UU No. 23 Tahun 2011 tentang penanggulangan fakir miskin sebagai dasar untuk menetapkan kriteria fakir miskin dan tidak mampu dalam menetapkan penerima bantuan iuran dalam RPP Penerima Bantuan Iuran.

Mendesak Pemerintah membuat skema yang jelas agar pekerja mandiri atau pekerja di sektor informal yang memiliki penghasilan diatas Kebutuhan Hidup Layak dapat segera bergabung dalam program Jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014, agar universal helathcare coverage dapat terwujud. (bhc/rat)



 
   Berita Terkait > BPJS
 
  Legislator Minta Pemerintah Tinjau Kembali Program KRIS
  Bongkar-Pasang Regulasi Bingungkan Peserta BPJS Kesehatan
  Fadli Zon: Inpres BPJS Kesehatan Seharusnya Tidak Mengikat
  Luqman Hakim: Batalkan Kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai Syarat Pelayanan Pertanahan
  Manfaat JHT Cair di Usia 56 Tahun, Netty: Cederai Rasa Kemanusiaan
 
ads1

  Berita Utama
Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

Istana Dukung Kejagung Bersih-bersih di Pertamina: Akan Ada Kekagetan

Megawati Soekarnoputri: Kepala Daerah dari PDI Perjuangan Tunda Dulu Retreat di Magelang

Usai Resmi Ditahan, Hasto Minta KPK Periksa Keluarga Jokowi

 

ads2

  Berita Terkini
 
BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

10 Ribu Buruh Sritex Kena PHK, Mintarsih Ungkap Mental Masyarakat Terguncang

Anak 'Crazy Rich' Alam Sutera Pelaku Penganiayaan, Sudah Tersangka Tapi Belum Ditahan

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2