JAKARTA, Berita HUKUM - Direktur Pusat Advokasi dan Pengawasan Penegakan Hukum (PAPPH), Windu Wijaya ajukan pengujian ketentuan pemberhentian Kepala Polri (Kapolri) dan pengangkatan pelaksana tugas (plt) Kapolri oleh presiden dalam keadaan mendesak dalam Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan nomor 24/PUU-XIII/2015 digelar Kamis (12/2) di Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Hazmin A Sutan Muda hadir selaku kuasa hukum Pemohon untuk menjelaskan pokok-pokok permohonan di hadapan panel hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Dalam permohonan a quo, Wijaya menyatakan sebagai warga negara Indonesia merasa dirugikan atau berpotensi drugikan dengan ketentuan Pasal 11 ayat (5) UU Polri. Norma yang terkandung dalam pasal tersebut dianggap telah menimbulkan multitafsir dan bertentangan dengan prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal yang sama juga dikhawatirkan akan dapat melanggar hukum ketika pasal tersebut diartikan bahwa Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara yang memiliki kewenangan untuk mengangkat pelaksana tugas Kapolri tanpa menyertai alasan-alasan dalam keadaan mendesak dan tanpa meminta persetujuan DPR. Sehingga, presiden seolah-olah telah bertindak sesuai dengan hukum ketika mengangkat Kapolri. Untuk lebih jelasnya, berikut redaksional Pasal 11 ayat (5) UU Polri.
Pasal 11
(5) Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Ketentuan tersebut digugat setelah Pemohon merasa pengangkatan Wakapolri Komjen Polisi Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas dengan mendasarkan kepada Pasal 11 ayat (5) UU Polri tidak memenuhi syarat. Sebab, pengangkatan Badrodin dianggap oleh Pemohon tidak dalam keadaan mendesak dan tidak Kapolri sebelumnya tidak diberhentikan sementara.
“Pasal tersebut telah membuka peluang bagi presiden untuk mengangkat pelaksana tugas Kapolri tanpa persetujuan DPR dengan alasan bahwa pengangkatan pelaksana tugas Kapolri tersebut dilakukan secara hormat dengan tetap. Norma Pasal 11 ayat (5) Undang-Undang tentang Kepolisian Republik Indonsia merupakan norma yang telah menimbulkan multitafsir dan berpotensi menimbulkan tafsiran inkonstitusional. Oleh karenanya maka Pasal 11 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan asas negara hukum dan merugikan hak-hak konstitusional Pemohon sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” ujar Hazmin saat menjelaskan pokok-pokok permohonan di hadapan panel hakim.
Lebih lanjut, Pemohon mendalilkan seharusnya setiap orang sesuai Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar harus patuh pada pembatasan dalam setiap undang-undang. Pembatasan seperti yang ada dalam Pasal 11 ayat (5) UU Polri semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Terlebih, bila Pasal 11 ayat (5) UU Polri salah ditadsirkan makan akan berpotensi menimbilkan penyalahgunaan jabatan presiden dalam mengangkat plt Kapolri dengan alas an keadaan mendesak dan tanpa persetujuan DPR. Oleh karena itu, Pemohon meminta Presiden Republik Indonesia, tanpa terkecuali, harus mampu mewujudkan kepastian hukum dan ketertiban hukum dalam menjalankan fungsi, tugas, dan kewenangannya.
Putusan Sela
Pemohon menganggap Mahkamah perlu menerbitkan putusan sela untuk perkara ini. Hal itu diperlukan untuk mencegah ketidakpastian hukum bagi Pemohon selaku warga negara Indonesia yang menganggap pengangkatan plt kapolri tidak sah karena tidak dalam keadaan mendesak. “Maka putusan provisi dalam perkara Pemohon dalam menguji Pasal 11 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah sangat mendesak untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi Pemohon apabila norma hukum diterapkan. Dalam perkara a quo putusan sela diperlukan untuk mencegah kemungkinan kerugian konstitusional hak Pemohon atas penggunaan kewenangan Presiden Republik Indonesia yang tidak sah,” jelas Hazmin lagi.
Menyadari akan terjadi kekosongan hukum bila Mahkamah menyatakan pasal a quo bertentangan dengan Konstitusi, Pemohon dalam petitumnya meminta Mahkamah memberikan tafsir atas Pasal 11 ayat (5) UU Polri sehingga menjadi konstitusional. Pemohon juga menyatakan pasal a quo harus ditafsirkan bahwa ketika presiden mengangkat pelaksana tugas Kapolri, maka pengangkatan pelaksana tugas Kapolri sah sepanjang Kapolri dalam masa jabatannya mengundurkan diri, berhalangan tetap, dan/atau diberhentikan sementara oleh presiden dalam keadaan mendesak dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.(YustiNurulAgustin/mk/bhc/sya) |