JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyesalkan sikap petinggi kepolisian yang saling lempar tanggung jawab terkait kasus pembantaian dan penyembelihan petani di Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan.
Situasi semacam ini turut menyebabkan kasus berjalan tanpa penanganan yang layak dari aparat sehingga letupan konflik terus terjadi. “Kami sudah menangani kasus kekerasan di dua wilayah ini sejak 2009. Kami sudah serahkan hasil penyelidikan dan rekomendasi pada kepolisian dan pemerintah provinsi, tapi tidak ada tindak lanjut," kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim dalam jumpa pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (15/12).
Konflik terbuka pecah di Desa Sodong Kec. Mesuji Kabupaten Ogan Kemering Ilir, Provinsi Sumsel, pada April lalu dan mengakibatkan sedikitnya tujuh korban tewas. Padahal, bentrokan bisa dicegah. “Justru aparat lebih condong pada perusahaan dari pada melakukan tindakan pencegahan, agar bentrok pecah," imbuh dia.
Kasus perebutan lahan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dan warga sekitar ini sudah dimulai setidaknya sejak 2009, saat PT Sumber Wangi Alam (SWA) di Kecamatan Mesuji OKI, Sumsel, berniat memperluas wilayah perkebunan sawitnya. Warga yang merasa haknya dilanggar marah dan meyampaikan protes hingga beberapa kali memicu bentrok terbuka.
Mulanya ada dua warga yang ditemukan dalam kondisi sangat mengenaskan, penuh luka tusuk. Massa yang marah kemudian menuntut balas dengan menyerbu areal perkebunan. Namun, mereka disambut oleh personel TNI dan Polri yang diminta pemilik perkebunan untuk menjaga lokasi, ditambah ratusan preman yang disewa perusahaan sebagai anggota pengaman swakarsa.
Dijelaskan Ifdal, untuk bentrok lain pecah di wilayah hutan Register 45, Kecamatan Mesuji Timur, Kabupaten Mesuji, Lampung pada November lalu. Warga menyerbu areal, karena perebutan klaim atas lahan dengan perkebunan kelapa sawit PT BSMI. Lokasi perkebunan juga dijaga oleh PAM Swakarsa, tentara, marinir dan Brimob. Seorang warga tewas akibat tembakan polisi.
Sekalipun klaim warga melawan petugas itu benar, Ifdhal Kasim tetap berpendapat bentrok sebenarnya bisa dihindari, mengingat di wilayah itu sudah sering terjadi ketegangan sebelumnya antara warga hutan Register 45 dengan PT Silva Inhutani, sebuah perusahaat sawit lain yang juga membuka lahan di sana.
"Kalau konflik lahan bisa diselesaikan lebih objektif dan tidak diambangkan seperti ini, maka masyarakat tidak menyelesaikannya sendiri, cara seperti ini tidak terjadi. Indikasi keterlibatan aparat, menurut Ifdhal, menunjukkan keberpihakan aparat yang lebih condong pada pemilik modal ketimbang warganya sendiri," ungkap Ifdhal.
Kalangan penggiat HAM dan lingkungan hidup menyatakan kasus-kasus kekerasan berlatar perebutan lahan, bukan hanya terjadi di Mesuji. Tatpi telah menjadi fenomena yang hampir merata di seluruh Indonesia, sejak pemerintah mengizinkan pembukaan hutan untuk perluasan perkebunan sawit.(irw)
|