YOGYAKARTA, Berita HUKUM - Sikap mempersoalkan dana asing dan argumen nasionalisme dalam menghadapi kampanye antirokok bukan berdasar pada alasan sembarangan. Data-data hasil riset jelas membuktikan bahwa dana Bloomberg Initiative yang dikucurkan kepada gerakan antirokok benar-benar ditunggangi kepentingan industri farmasi multinasional.
Demikian disampaikan Alfa Gumilang, Sekretaris Jendral Komunitas Kretek, dalam sebuah pernyataan pers di Yogyakarta, Senin (14/8), dalam keterangan persnya yang diterima pewarta Berita HUKUm.com.
“Kami bukan para pengidap xenophobia yang alergi dengan apa pun asal berbau asing. Bantuan asing bukan masalah, sepanjang tidak diboncengi kepentingan-kepentingan terselubung yang nantinya akan merugikan kepentingan nasional kita”, tegas Alfa.
Sementara, lanjut jebolan Universitas Bung Karno ini, problem yang mengiringi bantuan Bloomberg Initiative adalah fakta bahwa Michael Bloomberg merupakan pemangku kepentingan industri farmasi multinasional. Di saat yang sama, dari berbagai riset, mulai Wanda Hamilton hingga Salamuddin Daeng, terbuktilah bahwa memang kampanye antirokok sangat menguntungkan industri farmasi.
Dilihat dari perkembangan di negara-negara yang meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) pun, nyata bahwa industri farmasi menangguk untung selangit melalui penjualan massal nicotine replacement therapy. Alfa menyebut, misalnya, keuntungan yang diraup dari Belgia sebesar USD 28,5 Juta, Spanyol sebesar USD 9,7 Juta, Prancis sebesar USD 9,1 Juta, Italia sebesar USD 5 Juta, dan Irlandia sebesar USD 2,2 Juta.
“Dengan bukti-bukti di negara yang sudah meratifikasi FCTC itu, lalu tendensi dana Bloomberg mau dibantah di mana lagi?” tantang Alfa.
Sebagaimana diberitakan, Kartono Mohamad, salah satu aktivis gerakan antirokok Indonesia, dalam beberapa kesempatan menampik tendensi di balik dana asing untuk membiayai kampanye antirokok. Ia menyatakan bahwa pihak-pihak yang mempersoalkan dana asing tak bedanya PKI zaman dulu, yang menggunakan data benar yaitu adanya dana asing tersebut untuk membangkitkan kemarahan masyarakat. Selanjutnya Kartono menagaskan bahwa dana asing untuk kesejahteraan bukanlah masalah, sembari memberikan contoh dana bantuan untuk penanggulangan TBC dan cacing perut yang pernah diterima pemerintah Indonesia.
“Dari situ tampak Kartono berusaha mengaburkan daya kritis publik. Ia tidak berani mengangkat contoh bantuan-bantuan asing yang jelas penuh agenda siluman, semisal dana untuk penyusunan berbagai draf RUU pasca reformasi. Padahal, dengan penyusunan banyak peraturan perundang-undangan tadi, kepentingan ekonomi politik si pemberi bantuan menjadi dominan. Banyak sekali contohnya”, tegas Alfa Gumilang.
Contoh itu, lanjutnya, tak beda dengan duit Bloomberg yang dikucurkan untuk penyusunan berbagai peraturan daerah antirokok, baik di Jakarta, Bogor, Semarang, maupun Bali. Juga yang dilimpahkan ke Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan, yang dalam situs web Bloomberg jelas-jelas disebutkan bertujuan menggalang dukungan anggota legislatif untuk kebijakan perundangan pembatasan rokok. Sementara, dana-dana itu pun kentara berjalan seiring, alias satu paket dengan miliaran uang yang diguyurkan ke berbagai LSM, semisal YLKI.
“Apa yang dikatakan Kartono Mohamad itu justru sangat membodohi publik”, pungkas Alfa, menutup pernyataan.(bhc/frd)
|