JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Puluhan orang yang yang tergabung dalam Forum Warga Korban Banjir Pondok Labu, mendatangi gedung Komnas HAM, Jakarta, Senin (21/11). Kedatangan para warga tersebut untuk mengadukan terjadinya penyempitan Kali Krukut yang dilakukan pihak Korps Marinir, sehingga mengakibatkan terjadinya banjir berkepanjangan di pemukiman mereka.
Para korban pun menuntut pihak terkait segera melakukan normalisasi Kali Krukut. Koordinator warga, yang juga ketua RT 11/03, Sugiyono mengatakan, sejak sembilan bulan lalu, warga Kampung Pulo yang tinggal di RT 09, 10, 11, 12, dan 14 harus menderita, karena tempat tinggalnya selalu terendam banjir.
Menurut dia, banjir itu lebih disebabkan menyempitnya Kali Krukut dan adanya pembuatan gorong-gorong atau tanggul yang dilakukan pihak Marinir untuk pembuatan sarana lapangan tembak. "Ketika pembangunan itu dilakukan, pihak Marinir sama sekali tidak berkoordinasi atau memberitahu pihak terkait, baik RT, RW, lurah maupun camat," ujar Sugiyono.
Ia mengungkapkan, warga tidak tahu kapan tanggul tersebut mulai dibangun. Namun, sejak Maret 2011 atau selama sembilan bulan hingga kini, pemukiman warga selalu kebanjiran meski saat musim kemarau. Pada 25 April lalu, warga sudah mengirimkan surat kepada gubernur melalui lurah setempat, tapi hingga kini belum ada jawaban serta realisasi atas pengaduan itu. "Surat dikirimkan pada saat pengerjaan turap masih berjalan," ujarnya.
Tak mendapat respon, warga pun pada 25 Oktober lalu, kembali mengirim surat yang disertai foto dukomentasi pengerjaan proyek tersebut. Namun, surat yang dikirimkan kembali tak mendapat tanggapan. "Untuk kali ketiga atau 31 Oktober lalu, warga kembali berkirim surat. Waktu itu gubernur bersama menko kesra meninjau ke lokasi. Tapi sampai sekarang belum ada jawaban," jelas Sugiyono.
Sugiyono mengungkapkan, saat itu Marinir memang telah membongkar penutup gorong-gorong yang dipasang, tapi tidak dibarengi dengan pembongkaran dan pengerukan di dasar kali, sehingga kondisi banjir tidak mengalami perubahan. Pihak marinir juga pernah melemparkan isu untuk membebaskan tanah warga dengan harga Rp 1 juta per meter, namun harga tersebut hanya untuk bangunan saja, sedangkan untuk tanah tidak dihitung sama sekali.
"Harga tersebut tentu saja terlalu murah dan tidak mungkin warga bisa mencari tempat tinggal yang baru. Namun, sebanyak tujuh warga yang akhirnya terpaksa melepas rumahnya, karena mungkin sudah tidak tahan dengan kondisi yang dialaminya," katanya.
Tidak Boleh Berlanjut
Komisi piket Komnas HAM, Syarifudin Ngulma Simeuleu yang menemui warga mengatakan, penderitaan warga tidak boleh berlanjut. Terkait hal ini, dikatakannya, Komnas HAM akan menindaklanjuti laporan warga dan menelaah terlebih dahulu kasus tersebut.
Komnas HAM juga mengimbau kepada para pemangku kebijakan, agar segera memberikan jalan keluar atas permasalahan yang dialami warga. Dalam waktu dekat, Komnas HAM juga berencana memanggil para pemangku kebijakan "Para pemangku kebijakan harus mencari jalan keluar, minimal banjir tidak terjadi lagi," ujarnya.
Sebelumnya, kali tersebut memiliki lebar 6-12 meter. Namun setelah diturap, kali itu mengalami peyempitan dan hanya memiliki lebar 2 meter. Panjang turap yang dibuat pihak Marinir sepanjang 1,2 kilometer. Sementara, gorong-gorong yang ada di dasar kali sepanjang 300 meter.
Namun, pembangunan itu malah membuat hunian warga kenajiran hingga kini. Akibat banjir tersebut sebanyak 175 KK atau sebanyak 600 jiwa harus menderita banjir berkepanjangan. Belasan warga juga sudah mulai terjangkit penyakit akibat banjir tersebut.(bjc/irw)
|