JAKARTA, Berita HUKUM - Tim kuasa hukum terdakwa Budi Hartono Linardi, Astono Gultom menyayangkan keputusan majelis hakim terhadap kliennya yang telah menghukum 12 tahun penjara dalam perkara dugaan korupsi impor besi atau baja dan turunannya karena terbukti melangar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999.
"Penerapan sangkaan pidana korupsi yakni Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 adalah keliru dan tidak tepat," ujar Astono Gultom kepada wartawan di Jakarta, Selasa (28/3/2023).
Menurutnya penerapan pasal dimaksud hanyalah sebagai jembatan untuk menjerat enam perusahaan importir besi beserta turunannya yang berkas perkaranya secara korporasi telah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta.
"Berdasarkan fakta-fakta di persidangan, bahwa kerugian keuangan negara itu tidak terbukti. Bahkan di dalam putusan, hakim di dalam memberikan pertimbangan terkait kerugian keuangan negara hanya berdasarkan adanya hasil audit perhitungan dari BPK, tidak menjelaskan di bagian apanya atau perbuatan apa yang menyebabkan timbulnya kerugian keuangan negara, faktanya di dalam persidangan kewajiban 6 importir ini sudah dibayar lunas pada saat barang dikeluarkan dari kepabeanan keluar ke gudang dari para importir ini," tegasnya.
Gultom menjelaskan kliennya telah memberikan bukti seluruh pembayaran atas 6 importir tersebut senilai Rp540 miliar yang dibayarkan kepada kas negara.
Anehnya, majelis dalam pertimbangan hukumnya terkait kerugian keuangan negara tidak membuat atau tidak menjadikan bukti tersebut menjadi pertimbangan, dimana bukti yang diberikan berupa bukti pembayaran kepada negara juga telah dikonfirmasi kepada bea dan cukai bahwa seluruh hak-hak negara telah dibayar seluruhnya sebelum barang tersebut dikeluarkan.
"Nah di dalam persidangan juga, ada 3 terdakwa dalam perkara ini, satu Tahan Banurea (ASN Kemendag), yang kedua adalah dari swasta yaitu klien kami Hartono Linadri dan Taufik. Namun di dalam putusannya, majelis hakim membebaskan terdakwa Tahan Banurea karena dianggap tidak memiliki peran, tidak memiliki kewenangan di dalam perkara," ujarnya.
Menurutnya, adalah suatu kejanggalan hukum jika kliennya sebagai swasta dinyatakan turut serta melakukan tindak pidana korupsi dengan ASN, namun pihak ASN-nya (Tahan Banurea) divonis bebas.
"ASN atau pejabat yang mana, yang lucu adalah dalam pertimbangannya klien kami dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum di dalam pengurusan surat penjelasan sebagai pengecualian izin impor adalah dengan Wira Chandra. Sementara Wira Chandra sendiri sudah lama meninggal, tidak dapat lagi dimintai konfirmasi," ujarnya.
Dia mempertanyakan apakah benar dia (almarhum Wira Chandra) yang mengurus dan di dalam pengurusan surat penjelasan (izin impor) itu apakah memperoleh sesuatu atau tidak?
Berdasarkan Asumsi
Gultom menjelaskan di dalam mengambil pertimbangan hukum terdakwa Budi Hartono Linardi dan Taufik yang dinyatakan bersalah, hakim mengambil pertimbangan bukan berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, tetapi hanya berdasarkan asumsi yang dibangun oleh jaksa penuntut umum (JPU) sebagaimana dalam surat dakwaannya, maupun di dalam surat tuntutannya.
"Yang nyata-nyata di dalam persidangan fakta-fakta itu tidak pernah terungkap, seperti apa peran dari Wira Chandra tidak pernah terungkap di persidangan apa jabatannya, bekerja di direktorat mana dia," ujarnya.
Menurutnya karena saksi-saksi, fakta-fakta dan bukti-bukti terhadap terdakwa Tahan Banurea sama dengan terdakwa Budi Hartono Linardi dan Taufik maka harusnya, pertimbangan hukum yang demikian juga harus menjadi pertimbangan di dalam perkara Budi Hartono Linardi dan Taufik, bahwa tidak pernah jaksa penuntut umum membuktikan bahwa di dalam pengeluaran surat penjelasan sebagai pengecualian ijin impor siapa sebenarnya bertanggung jawab, apa perbuatan yang dilakukan orang yang bertanggung jawab tersebut.
"Dengan tidak dapat dibuktikan dengan perbuatan ASN yang melawan hukum tersebut, maka harus secara otomatis perkara Budi Hartono Linardi dan Taufik, fakta itu harusnya menjadi pertimbangan untuk membebaskan klien kami dari surat dakwaan jaksa penuntut umum," ujarnya.
Siapa yang Bertanggungjawab?
Sementara itu rekan Gultom, Yonatan Christofer menyatakan dengan putusnya perkara tersebut ada satu kebenaran yang didapatkan bahwa dibebaskannya Tahan Banurea.
"Tidak terlibat. Artinya ini dipertanyakan jika Tahan dibebaskan, lalu siapa yang bertanggungjawab dari Kemendag? Karena tidak mungkin UU Tipikor diterapkan tanpa adanya keterlibatan ASN atau pejabat Kemendag. Dalam dikaitkan dan diarahkan kepada Chandra, padahal Chandra sendiri sudah meninggal 2019," ujarnya.
Dia menyatakan pembuktian yang digunakan dalam persidangan patut dipertanyakan, versinya siapa yang dipakai.
"Karena tidak ada yang menjelaskan baik transkrip maupun aliran dana ke Chandra tidak ada pembuktian di persidangan," ujarnya.
Sebelumnya majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis bebas terdakwa Tahan Banurea dalam perkara korupsi impor besi atau baja paduan dan produk turunannya tahun 2016 sampai dengan 2021. Akan tetapi untuk terdakwa Budi Hartono Linardi dan Taufik dihukum masing-masing selama 12 dan 10 tahun penjara dan denda satu miliar rupiah subsidair enam bulan kurungan.
Tanggapan penasehat hukum terdakwa Budi Hartono Linardi atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Menurut kami Budi Hartono Linardi divonis dengan Pasal 2 undang-undang tindak pidana korupsi hanyalah sebagai jembatan untuk dapat menjerat enam importir dalam perkara ini, karena enam importir perkaranya secara korporasi telah dilimpahkan ke pengadilan.
Berdasarkan fakta-fakta di persidangan bahwa, kerugian keuangan negara itu tidak terbukti, bahkan di dalam putusan, hakim di dalam memberikan pertimbangan terkait kerugian keuangan negara hanya berdasarkan adanya hasil audit perhitungan dari BPK, tidak menjelaskan di bagian apanya atau perbuatan apa yang menyebabkan timbulnya kerugian keuangan negara, faktanya di dalam persidangan kewajiban 6 importir ini sudah dibayar lunas pada saat barang dikeluarkan dari kepabeanan keluar ke gudang dari para importir ini.
Dan kami juga telah memberikan bukti seluruh pembayaran atas 6 importir tersebut senilai Rp540 miliar yang dibayarkan kepada kas negara dan majelis dalam pertimbangan hukumnya terkait kerugian keuangan negara tidak membuat atau tidak menjadikan bukti tersebut menjadi pertimbangan, dimana bukti yang kamu berikan berupa bukti bayar kepada negara juga telah dikonfirmasi kepada bea dan cukai bahwa seluruh hak-hak negara telah dibayar seluruhnya sebelum barang tersebut dikeluarkan.
Lebih lengkapnya wawancara dengan kuasa hukumnya berikut ini:
Nah di dalam persidangan juga, ada 3 terdakwa dalam perkara ini, satu Tahun Banurea, yang kedua adalah dari swasta yaitu klien kami Hartono Linadri dan Taufik.
Namun di dalam putusannya, majelis hakim membebaskan terdakwa Tahan Banurea karena dianggap tidak memiliki peran, tidak memiliki kewenangan di dalam perkara.
Selanjutnya klien kami sebagai swasta, turut sertanya melakukan tindak pidana korupsi ini dengan ASN atau pejabat yang mana, yang lucu adalah dalam pertimbangannya klien kami dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum di dalam pengurusan surat penjelasan sebagai pengecualian izin impor adalah dengan Wira Chandra, almarhum Wira Chandra, sementara Wira Chandra sendiri sudah meninggal, tidak dapat lagi dimintai konfirmasi.
Apakah benar dia (Wira Chandra) yang mengurus dan di dalam pengurusan surat penjelasan itu apakah memperoleh sesuatu atau tidak?
Selain itu pertimbangan hukum yang menjadi dasar dari putusan majelis hakim, bahwa saksi dan bukti yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum di dalam persidangan, sama seluruhnya persis sama seluruhnya kepada ketiga terdakwa ini.
Namun di dalam mengambil pertimbangan di dalam terdakwa Budi Hartono Linardi dan Taufik yang dinyatakan bersalah, hakim mengambil pertimbangan bukan berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, tetapi hanya berdasarkan asumsi yang dibangun oleh jaksa penuntut umum sebagaimana dalam surat dakwaannya, maupun di dalam surat tuntutannya, yang nyata-nyata di dalam persidangan fakta-fakta itu tidak pernah terungkap, seperti apa peran dari Wira Chandra tidak pernah terungkap di persidangan apa jabatannya, bekerja di direktorat mana dia?
Nah terhadap hal ini, ini diterbitkan pada direktorat impor, direktorat impor, sementara berdasarkan fakta-fakta yang di persidangan Wira Chandra itu selain tidak memiliki jabatan dia juga berbeda dia juga sebagai staf di direktorat ekspor, nah ini berbeda antara impor dan ekspor itu sudah berbeda jelas-jelas berbeda, maka fakta yang dibangun oleh majelis hakim di dalam pertimbangannya jelas-jelas berbeda dengan fakta yang dipergunakan dalam memberikan putusan bebas terhadap Tahan Banurea.
Justru fakta yang sebenarnya adalah fakta yang ada di Tahan Banurea, dimana di sana disebutkan bahwa terhadap keluarnya surat penjelasan tersebut jaksa penuntut umum tidak pernah membuktikan siapa yang seharusnya bertanggung jawab terhadap keluarnya surat penjelasan itu?
Maka kalau ada pertimbangan yang seperti itu, karena saksi-saksi dan fakta-faktanya dan bukti-buktinya itu sama maka harusnya, pertimbangan itu juga harus menjadi pertimbangan di dalam perkara Budi Hartono Linardi dan Taufik, bahwa tidak pernah jaksa penuntut umum membuktikan bahwa di dalam pengeluaran surat penjelasan sebagai pengecualian ijin impor siapa sebenarnya bertanggung jawab, apa perbuatan yang dilakukan orang yang bertanggung jawab tersebut.
Dengan tidak dapat dibuktikan dengan perbuatan ASN yang melawan hukum tersebut, maka harus secara otomatis perkara Budi Hartono Linardi dan Taufik, fakta itu harusnya menjadi pertimbangan untuk membebaskan klien kami dari surat dakwaan jaksa penuntut umum.
Kami melihat disini, hakim di dalam memberikan pertimbangan untuk fakta-fakta yang sama tetapi menggunakan dua standar yang berbeda, di satu sisi untuk membebaskan terdakwa Tahan Banurea, hakim mengambil fakta-fakta yang terungkap di persidangan tetapi untuk menghukum klien kami, hakim justru mengambil pertimbangan dari asumsi yang dibangun oleh jaksa penuntut umum di dalam surat dakwaannya maupun di dalam surat tuntutannya.
Inilah yang kami sesalkan dan untuk itu kami mempertimbangkan akan mengajukan banding. Bahwa perbedaan-perbedaan fakta hukum yang disajikan oleh majelis hakim dalam memutus perkara ini, sementara saksi-saksinya bukti-buktinya sama.
Sekarang yang menjadi pertanyaan? Bagaimana mungkin akan terjadi tindak pidana korupsi, tetapi pejabat atau ASN-nya tidak ada, maka kalau pun ada perbuatan melawan hukum di sana jelas-jelas menurut kami itu bukanlah tindak pidana korupsi, tetapi itu kalau memang ada di sana pemalsuan itu tindak pidana umum, kalau memang ada di sana penyelundupan atau pengalihan HS code atau pengalihan tarif cost yang harus dibayar kepada negara, tanpa adanya bea cukai, tanpa adanya perdagangan maka itu harusnya adalah tindak pidana kepabeanan, dan itu harusnya ranahnya bukan tindak pidana korupsi.(bh/osd/mdb) |