Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Opini Hukum    
Prostitusi Online
Kubangan Prostitusi Virtual
Sunday 24 Mar 2013 03:10:18
 

Ilustrasi
 
Oleh: Fredy Wansyah Putra

BEBERAPA kali kita dihadapi berita-berita pornografi. Ada Duka di Wibeng, Tidak Hilang Sebuah Nama, Tembelo Kembalinya si Burung Camar, dan Tembelo Meniti Hari di Ottakwa. Keempat judul buku itu diberitakan sebagai buku yang berbau pornografi. Selain itu, kita juga sempat dihebohkan atas pemberitaan “Bang Maman dari Kalipasir”. Meski “Bang Maman dari kalipasir” bukanlah suatu fenomena seksualitas, di dalamnya terkandung unsur perselingkuhan.

Perselingkuhan itu terkait kepuasan hasrat, yang akhirnya akan bermuara pada hasrat seks. Tidak hanya itu, di DPR pun acap kali jadi terjadi isu-isu pornoaksi yang dilakukan para anggota dewan itu sendiri, seperti yang kita ketahui belakangan ini adanya penyebaran video pornoaksi yang (entah benar atau tidak) dilakukan para politisi. Malahan, pembatalan konser Lady Gaga pun terkait kemungkinan pornoaksi yang akan dilakukan di panggung.

Kini, seakan pornoaksi jadi kebutuhan yang diumbar. Di mana-mana “porn” itu ada. Dalam ruang-ruang kantor kita bisa melihat keseksian perempuan yang menggunakan rok-rok mini, hingga membuat laki-laki puas terhadapnya saat memandangi keseksian tersebut. Dalam angkutan umum tak jarang kita temui perempuan menggunakan baju-baju nan mini hingga menonjolkan keindahan tubuhnya bagi laki-laki yang melihatnya. Dalam pertunjukan-pertunjukan otomotif kita sering menemui SPG yang berdiri lemah gemulai nan seksi.

Industri secara terselubung telah mendorong produksi seksualitas tersebut. Dari instrumen industri hingga produksi dalam industri itu sendiri. Secara terus-menerus menggerus perempuan atau eksploitasi perempuan demi kepuasan-pandangan bagi laki-laki –jender yang diuntungkan- dan ini tanpa disadari perempuan korban itu. Saat memandang itulah ada unsur kepuasaan visual bagi laki-laki. Di dalam proses memandang tadi itulah ada prostitusi virtual (prostitusi maya).
***
Pada zaman keterbukaan ini (era keterbukaan informasi), seks bukan lagi sebatas ritual persetubuhan seperti pandangan klasik dalam memandang seks. Dahulu, katakanlah sebelum era modern serta sebelum keterbukaan informasi, seks dianggap sebatas persetubuhan yang tidak memiliki makna dan fungsi lainnya. Pergeseran budaya di dunia memunculkan pikiran-pikiran baru. Seks pun dianggap memiliki peran penting lainnya, seperti medium pemikat komoditas, selain menjadi komoditas itu sendiri.

Dalam kuasa laki-laki, perempuan adalah objek seks. Wacana-wacana seks yang direproduksi sebagai bahan kajian, bahan pertimbangan regulasi, moral sosial, dan bahkan keilmuan, mengakibatkan posisi perempuan ditempatkan berada di bawah laki-laki. Perempuan pun jadi “penderita” seks karena berbagai hal tadi yang dibentuk oleh laki-laki. Perempuan dianggap hanya pemuas laki-laki.

***
Apa yang diuraikan di atas dapat kita lihat di dalam dunia virtual (hiperrealita). Dunia virtual adalah dunia dunia tiruan yang mencerminkan kenyataan atau disebut sebagai dunia maya. Dengan melihat virtual, berarti kita pun sedang melihat kenyataan, dan sebaliknya.

Dunia virtual ikut membantu produksi seksualitas itu, seperti apa yang diurai di atas. Imagologi (istilah yang dipakai Yasraf A Piliang), ilmu yang menelaah imaji yang juga disertai peran teknologi, menandakan bahwa imaji seks-lelaki tersebar di mana-mana atas peran virtualitas. Perempuan nan seksi merupakan wujud imaji seks-lekai tadi. “Porn videos” itu lebih nikmat dibanding “porn” yang sesungguhnya dengan aturan konvensi-sosial, seperti pandangan Baudrillard yang menegaskan bahwa film porno itu lebih (mungkin) memikat dibandingkan nyatanya. Akibatnya, tak heran tebaran video dan ulasan “porn” di dalam dunia virtual memberikan dampak nyata terhadap kehidupan.

Di dalam virtual ada prostitusi (red: prostitusi adalah pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan. KBBI). Di dalam realita sosial pun banyak prostitusi, yang berasal dari pengaruh virtualitas itu. Pertukaran keindahan tubuh perempuan dengan keuntungan (added value) ada di dalamnya. Pertukaran tubuh ini sama halnya seperti seorang laki-laki yang bangga berada di sebelah perempuan (korban) berpakaian seksi atas tuntutan industri, karena pada proses itu ia telah memuaskan dirinya di publik. Di sisi lain, perempuan, dengan “dilemahkan” zaman patriarki, menjadi suatu objek industri yang dapat menguntungkan dua keuntungan sekaligus: keuntungan nilai dan keuntungan hasrat laki-laki. Di satu sisi, perempuan (kadang) tidak memiliki “modal” yang bisa dijadikan media pencarian kebutuhan hidupnya, sehingga pilihan terakhirnya ialah merelakan keindahan tubuhnya jadi media tersebut (sebagai media daya tarik) agar mampu memenuhi kebutuhan ekonominya.

Kubangan antara prostitusi virtual dan paraseksualitas (sebutan banyaknya ragam pelampiasan hasrat seks) mestilah dikonstruk sejak dini di dalam kehidupan perempuan. Sejak dini perempuan diberi pengetahuan seks sesuai kadar dan kondisi usianya dan diberikan pengetahun kesadaran perihal tubuh, baik tubuh laki-laki maupun tubuh perempuan itu sendiri. Tubuh, seharusnya, bukanlah sesuatu yang dibanggakan, melainkan sesuatu kepemilikan diri yang patut dijaga (demi memuaskan diri serta pasangan hidup kita sendiri, bukan demi memuaskan hasrat orang sebanyak-banyak). Dengan begitu, “porn” (baik itu pornografi maupun pornoaksi) akan terminimalisasi di dalam konteks sosial yang retan konflik ini.

Perlu kita garisbawahi bahwa hasrat seks itu sesuatu yang natural. Seks merupakan suatu kebutuhan. Sama halnya seperti kebutuhan makan (energi bilogis). Tetapi, bukan berarti kita mengumbarnya, tanpa batasan usia atau kelayakan konsumsi berdasarkan usia. Dapat dibayangkan bila “porn” itu jadi konsumsi publik tanpa batasan usia. Kemungkinan, bila konsumsi seks dan cyberspace terus “membabibuta”, dan tidak melakukan pencegahan, kita akan hidup seperti di dalam film Caligula – diangkat dari naskah Albert Camus - yang hidup dalam kubangan seks melulu.

• Penulis adalah Seorang Pengamat Ekonomi Sosial Politik: fredywp@gmail.com



 
   Berita Terkait > Prostitusi Online
 
  Polisi Ungkap Praktik Prostitusi Online di Apartemen Green Pramuka, 1 Korban Dibawah Umur
  Legislator Apresiasi Polisi Bongkar Prostitusi 'Online'
  Operasi Pekat Otanaha III Berhasil Jerat Para Pelaku Prostitusi ONLINE
  Polda Metro Jaya Bongkar Prostitusi via Online
  Kubangan Prostitusi Virtual
 
ads1

  Berita Utama
Permohonan Praperadilan Tom Lembong Ditolak, Jampidsus Lanjutkan Penyidikan

Polri Bongkar Jaringan Clandestine Lab Narkoba di Bali, Barang Bukti Mencapai Rp 1,5 Triliun

Komisi XIII DPR Bakal Bentuk Panja Pemasyarakatan Usai 7 Tahanan Negara Kasus Narkoba Kabur dari Rutan Salemba

Pakar Hukum: Berdasarkan Aturan MK, Kepala Daerah Dua Periode Tidak Boleh Maju Lagi di Pilkada

 

ads2

  Berita Terkini
 
Permohonan Praperadilan Tom Lembong Ditolak, Jampidsus Lanjutkan Penyidikan

Hari Guru Nasional, Psikiater Mintarsih Ingatkan Pemerintah Agar Segera Sejahterakan Para Guru

Polri Bongkar Jaringan Clandestine Lab Narkoba di Bali, Barang Bukti Mencapai Rp 1,5 Triliun

Judi Haram dan Melanggar UU, PPBR Mendesak MUI Mengeluarkan Fatwa Lawan Judi

Komisi XIII DPR Bakal Bentuk Panja Pemasyarakatan Usai 7 Tahanan Negara Kasus Narkoba Kabur dari Rutan Salemba

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2