ACEH, Berita HUKUM - Lembaga Adat Aceh (MAA) melaksanakan Workshop, partiisipatif (meudrah, dalam bahasa Aceh), dengan tema Lembaga Wali Nangroe Sebagai Simbol Pemersatu Suku-suku Bangsa di Aceh, dalam Mengawal Perdamaian dan Peradaban, terhadap Pemangku Kepentingan Aceh tentang Lembaga Wali Nangroe (LWN), Senin (25- 26/11), di Lantai II Aula hotel Harmoni Aceh.
"Workshop tersebut di ikuti dari empat (4), Kabupaten/Kota, Kabupaten Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Kota Langsa sebagai Tuan Rumah. Sebelumnya acara yang sama dimulai dari Nagoya Hotel Sabang, pada tanggal (15-16/11), Panemas hotel Takengon pada tanggal (18-19/11), kemudian pada (1-2/12), acara tersebut akan digelar di Wisma Hardi Sinabang, untuk Wilayah Kuta Cane, Aceh Tamiang, Gayo Luwes, dan Subus Salam. Acara tersebut akan di gelar di SMK hotel pada tanggal (4-5/12) di Sabang, dan akan berakhir pada tanggal (11-12/12) di hotel Meuligoe Meulaboh, yang meliputi Meulaboh, Abdya, Aceh Jaya, dan Singkil.
Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Langsa, Ibrahim Daud mengatakan, MAA hanya merumuskan konsep konsep terkait pengukuhan Wali Nangroe dengan 4 (empat) Pengertian Adat (convention), adalah tata Cara kebiasaan hidup manusia yang dijalankan secara turun temurun.
Mengikat adanya sebab dan akibat serta tidak tertulis, (1) Adat Syar'I (ketatanegaraan), (2) Adat Aridhi (kebiasaan luar yang diadopsikan), (3) Adat Dharuri (penting), (4) Adat Nafsi (Adat itu sendiri), (5) Adat Nazari (hasil pemikiran), (6) Adat 'Uruf (kebiasaan), (7) Adat Ma'ruf (Adat yang di biasakan), (8) Adat Muqabalah (Adat timbal balik), (9) Adat Mua'malah (Adat pergaulan sehari hari), dan (10) Adat Ijma' (Adat ijma' mahkamah Jam'iyah di sepakati bersama DPRA dan pemerintah Aceh).
Yahya Mu'az, mewakili pemangku Wali Nangroe (WN) dalam sambutannya mengatakan, kerajaan Aceh sudah Ada mulai Tahun 1500 Masehi, dipimpin oleh Sultan Ali Mugayatsyah, barulah terjadi kodifikasi perundang undangan, yang di sebut Qanun Meukuta Alam Al-Asyi, pada tahun 1630 pada masa kepemimpinan Sultan Iskandarmuda Meukuta, tentang Zinul Islam, yang telah menjadi perdaban dunia, yang menjadikan Jami'an Baiturrahman merupakan pusat pendidikan dunia di Aceh.
Di sebabkan perang Aceh yang terjadi pada 26 maret 1873, Mahkamah kerajaan menghukum mati Jenderal Kohler, Dan pada 25 Desember 1873 Jenderal van Switen menyerang kerajaan Aceh kedua kalinya dan mangkatnya Sulthan Mahmud Syah. Tamadun Islam di Aceh telah memerdekakan beberapa bangsa, dan menyatukan kembali republik Indonesia, melalui Perjanjian Roem-Roijen," ujar Yahya Mu'az.
Sementara Wakil Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) provinsi Aceh, Rahman Kaoi, dalam sambutannya mengatakan menurut Sejarah Aceh, Islam masuk ke Asia tenggara melalui kerajaan Perlak, yang berdiri pada tahun 173 Hijriah (800 M) dari keturunan raja-raja Siam (Syahir Nuwi), pada saat itu masuklah saudagar dari teluk cambay (Gujarat), selain menjadi saudagar juga berperan sebagai Mubaligh.
Dalam masa kurang dari setengah abad tepatnya pada 1 muharram 225 H (tahun 840 Masehi) Negeri Perlak menjadi kerajaan Islam pertama di Asia tenggara.(bhc/kar) |