JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) kembali dimohonkan untuk diuji kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Kepaniteraan MK meregistrasi perkara ini dengan Nomor 51/PUU-IX/2011. Dalam sidang pendahuluan, F.X. Arief Puyono dan Darsono hadir sebagai pihak pemohon beserta kuasa hukumnya, Habiburokhman.
Habiburokhman menjelaskan, pemohon meminta pengujian terhadap 18 pasal dalam UU SJSN, yakni Pasal 17, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal, 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 serta Pasal 46 UU SJSN.
Menurut dia, pengaturan sistem jaminan sosial dalam UU SJSN diatur dengan sistem asuransi nasional sebagaimana disebutkan dalam pasal-pasal tersebut. Ada dua perbedaan besar antara sistem jaminan sosial nasional dengan sistem asuransi nasional.
“Dalam permohonan, kami menjelaskan bahwa jaminan sosial nasional merupakan bagian dari hak konstitusi dan HAM, karena dalam konstitusi bahwa sistem jaminan sosial diatur dalam bab mengenai hak asasi manusia,” kata Habiburokhman di dalam gedung MK, Jakarta, Kamis (8/9).
Sementara asuransi, lanjut dia, merupakan hubungan keperdataan yang menimbulkan antara hak dan kewajiban antara penanggung dan tertanggung yang memberikan manfaat dan premi. Hak dalam asuransi bukan hak konstitusi atau HAM, melainkan hak karena premi maupun hubungan keperdataan. UU SJSN yang mengatur sistem jaminan sosial menjadi asuransi nasional, telah menghilangkan hak pemohon untuk mendapatkan hak jaminan sosial nasional.
Majelis panel hakim yang diketuai Maria Farida Indrati bersama Anwar Usman dan Ahmad Fadlil Sumadi, menyarankan untuk memperbaiki permohonan pihak pemohon. Pemohon diminta mengontruksikan kembali argumentasi permohonannya.
“Anda hanya mengatakan bahwa itu merupakan hak dari seseorang merupakan jaminan warga negara, dan kalau pasal-pasal yang berkenaan dengan asuransi ini kemudian dihilangkan, maka jaminan sosial itu akan dengan mudah diberikan, dan tadi Anda mengatakan “Sebagai jaminan konstitusi. Tapi perlu diingat bahwa jaminan konstitusi enggak langsung datang, harus ada aturannya,” jelas Maria Farida.
Atas dasar ini, ketua hakim panel meminta pihak pemohon memberikan suatu penjelasan yang lebih konkret, sehingga pihak MK bisa memeriksa permohonan itu lebih lanjut. “Majelis panel hakim memberikan waktu selama 14 hari kepada Pemohon untuk melakukan perbaikan. Sidang selanjutnya mengegendakan pemeriksaan perbaikan permohonan,” ujar dia.(mkc/biz)
|