ACEH, Berita HUKUM - Refleksi 15 tahun Reformasi Indonesia, siang tadi di Kota Lhokseumawe diwarnai aksi damai yang dilaksanakan oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Aceh (FKMA) bertempat di Bundaran Simpang IV Harun Square Kota Lhokseumawe, Selasa (21/5).
Para mahasiswa memanfaatkan momentum itu untuk menyuarakan tuntutanya kepada pemerintah segera menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, misalnya masih banyak terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang disebabkan tidak adanya kepastian hukum yang mampu menjamin harkat dan martabat manusia di Indonesia.
Presidium FKMA, Ferry Afrizal dalam paparanya mengatakan, sampai hari ini belum adanya itikad baik secara politik oleh pemerintah untuk menyelesaikan berbagai macam kasus pelanggaran HAM masa lalu, sehingga sangat besar peluang akan terjadinya kasus pelanggaran HAM dimasa yang akan datang.
Reformasi tahun 1998, kata dia, seharusnya merupakan suatu batu loncatan bagi penguasa negara dalam membuat perubahan baik di bidang hukum, sosial dan politik maupun ekonomi. Pasca runtuhnya Rezim Orde Baru di bawah kekuasaan diktator Soeharto, sangat banyak menyisakan lembaran sejarah kelam, khususnya Aceh, yang pada tahun 1989 pernah ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Sebagaimana diketahui, bahwa di Aceh masih banyak korban yang sampai hari ini masih tidak jelas keberadaannya (hilang).
Rezim dapat saja berganti, namun penindasan terhadap rakyat semakin tidak terbendung, misalnya, penetapan status Darurat Militer terhadap Aceh oleh Presiden Megawati Soekarno Putri pada tanggal 19 Mei 2003. Di bawah kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjadi kepala pemerintahan, sekaligus kepala negara, selama dua periode dapat dikatakan, bahwa penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu, masih jauh dari harapan para korban.
Menurut dia, belum satu pun kasus pelanggaran HAM masa lalu yang berhasil menyeret pelaku-pelaku ke meja hijau, bahkan pelanggaran HAM baik secara Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB) maupun secara Sipil Politik (SIPOL) masih terus terjadi.
Khusus Aceh, perjalanan perdamaian yang termaktub dalam MoU Helsinki juga mengamanahkan beberapa poin penting menyangkut HAM seperti pembentukan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR), serta Pengadilan HAM guna memberikan efek hukum kepada pelaku pelanggaran HAM dan memberikan akses keadilan bagi masyarakat korban dan memberikan jaminan serta kepastian hukum sehingga kasus yang sama tidak terulang kembali di masa depan.
Namun sayangnya, dalam hal ini tidak ada satupun lembaga pemerintah baik eksekutif maupun legislatif yang memperjuangkan nasib para korban, malah justru mempermainkan mereka dengan janji-janji palsu demi politik pencitraan.
Walaupun sendiri, kami akan terus menyuarakan pentingnya keadilan bagi para korban, KKR dan pengadilan HAM sebagaiagenda mutlak yang harus terus diperjuangkan. Terkait dengan hal ini, kami juga menolak Calon Presiden (Capres) Pemilu 2014 yang berasal dari pelaku pelanggaran HAM.
Aksi damai yang dimulai sekira pukul 09:00-11:00 WIB itu berlangsung tertib, juga terlihat pengawalan dari puluhan personil aparat kepolisian.(bhc/sul)
|