SULSEL, Berita HUKUM - Kita harus lebih keras dan tegas dalam penegakkan hukum. Namun hal itu hanya dapat diwujudkan jika pemimpin-pemimpin di berbagai level bersih dari sandera menyandera hukum dan politik. Demikian disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD dalam orasi budayanya yang mengangkat tema “Pluralisme dan Kebhinekaan” di ruang Gedung Pola, kompleks Kantor Gubernur Sulawesi Selatan, Jumat (21/12).
Mantan Menteri Pertahanan era Presiden Abdurrahman Wahid ini juga mengungkapkan, dunia hukum di Indonesia pada tahun 50-an jauh lebih baik dari sekarang. Hal ini karena tidak ada kolusi di saat itu. Bahkan ada dua menteri aktif pada masa tersebut dijatuhi hukuman karena telah melanggar hukum.
Berbicara mengenai pluralisme dan kebhinekaan, lanjut Mahfud, pada tataran konseptual Indonesia menerima pluralisme dan toleran karena semua agama diperlakukan sama dan diproteksi oleh negara, bahkan juga termasuk pada setiap orang dijamin kebebasannya untuk memeluk agama.
Mahfud juga menjelaskan, beberapa usaha dilakukan untuk melawan Pancasila, yakni ketika pada sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) di tahun 1945, lalu pada 1956-1959 yang dilakukan oleh konstituante, dan pada amandemen UUD 1945 antara tahun 1999-2002 oleh partai-partai tertentu yang ada di MPR untuk mengganti Pancasila. Namun kesemua usaha itu gagal. “Pancasila adalah fitrah bagi bangsa Indonesia, karena yang mendasari kita untuk bersatu atas berkat rahmat Allah,” terang Mahfud.
Pria kelahiran Sampang Madura itu juga menegaskan bahwa siapapun yang mengatasnamakan apapun, lalu melakukan tindak kekerasan kepada sekelompok suku atau penganut agama tertentu, harus ditindak dengan tegas. Sebab, kata Mahfud, watak kenegaraan kita adalah pluralisme sebagai konsekuensi kebangsaan kita.(ilh/mk/bhc/opn) |