ACEH, Berita HUKUM - Secara De Facto yang telah ditandatangani perjanjian damai Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, 15 Agustus 2005, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah dibubarkan.
"Tidak ada lagi yang namanya GAM, karena sudah di Re-Integrasikan ke dalam masyarakat," demikian kata Tgk Dedi Safrizal, mantan Juru bicara Komite Peralihan Aceh dan Partai Aceh (KPA/PA) Wilayah Pasee.
Dia menjelaskan, hal itu sesuai dalam MoU Helsinki, poin 1.3.1 juga Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Tapi mengapa yang terjadi saat ini di tengah-tengah masyarakat bahwa GAM masih ada, dan ini sangat berbahaya apabila masyarakat tidak menganalisisnya, maka akan menyebabkan bentrok antara sesama Partai.
Menurutnya, ini diakibatkan karena tidak adanya sosialisasi yang dilakukan Pemerintah Aceh tentang pemahaman Qanun Wali Nangroe, serta Bendera dan Lambang Aceh. Sebagaimana diketahui selama ini yang terjadi pada umumnya masyarakat tidak mengerti permasalahan yang sedang terjadi di Aceh.
"Sehingga muncul paradigma konflik di tengah masyarakat," ujar Tgk Dedi yang juga merupakan kader Partai Nasional Aceh (PNA).
Seharusnya, Pemerintah Aceh musti komitmen untuk menyikapi permasalahan di lapangan, melainkan jangan menciptakan kisruh-kisruh yang bisa menyebabkan bentrok sesama partai lokal maupun partai lainnya, bahkan muncul anggapan selain Partai Aceh (PA) identik dengan penghianat.
"Seolah-olah yang tidak ikut ke PA telah menghianati perjuangan Aceh Merdeka (AM)," tandasnya lagi, di tengah-tengah masyarakat saat ini, bahkan masih ada paradigma dengan jembatan MoU masih ada harapan untuk merdeka.
"Ini yang masih difahami oleh masyarakat Aceh sekarang ini, dan PNA Insya Allah akan memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat," tutupnya seusai mengikuti acara peusijuek Caleg DPR Kabupaten Aceh Utara, dan DPR Aceh, yang bertempat di kediaman salah seorang kader PNA di Simpang Mulieng, Aceh Utara, sekira pukul 15:00-16:30 WIB, Minggu (29/9).(bhc/sul) |