SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO
Keterangan gambar,
Terdakwa kasus suap izin ekspor benih lobster tahun 2020 Edhy Prabowo (kanan) didampingi istri menunggu sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (8/6/2021).
Pledoi Edhy Prabowo: Saya tulang punggung keluarga
Sebelumnya jaksa menuntut Edhy dengan pidana penjara selama lima tahun dan denda sebesar Rp400 juta subsider enam bulan penjara.
Selain itu, bekas politisi Partai Gerindra ini juga dituntut membayar uang pengganti senilai Rp1,12 miliar dan Rp9,6 miliar atau subsider dua tahun penjara.
Tak cuma itu, jaksa juga meminta majelis hakim mencabut hak dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun sejak terdakwa selesai menjalani masa pidana pokok.
Dalam pledoi atau nota pembelaan, Edhy meminta kepada majelis hakim agar membebaskannya dari seluruh tuntutan. Ia mengeklaim tidak melakukan perbuatan seperti dakwaan jaksa. Kata dia, tuntutan lima tahun penjara dan denda Rp400 juta memberatkan.
Ia juga menyebut posisinya sebagai tulang punggung keluarga dan memiliki istri salihah serta tiga orang anak.
"Saya sudah berusia 49 tahun, usia di mana manusia sudah banyak berkurang kekuatannya untuk menanggung beban yang sangat berat. Ditambah lagi saat ini saya masih memiliki seorang istri yang salihah dan tiga orang anak yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Sehingga, tuntutan penuntut umum yang telah menuntut saya adalah sangat berat," ujar Edhy saat membacakan pleidoi, Jumat (9/7).
Adapun lembaga pemantau korupsi, ICW, berharap majelis hakim menjatuhkan vonis lebih berat dari tuntutan jaksa. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, menilai tuntutan jaksa terlampau rendah.
"Praktik kejahatan yang dilakukan oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu melampaui tuntutan dari jaksa," kata Kurnia kepada Kompas.com.
Kurnia mengatakan, majelis hakim harus menjatuhkan vonis lebih tinggi lantaran tindakan korupsi dilakukan di tengah pandemi Covid-19.
Kemudian jumlah uang suang yang diperolah Edhy dalam jabatannya sebagai menteri. Yang mana, ia diduga menerima Rp24,6 miliar dari para pengusaha ekspor benih lobster (benur) dalam pemberikan izin ekspor.
Bagaimana awal mula kasus?
Kasus ini bermula dari diterbitkannya surat keputusan oleh Menteri Edhy Prabowo tentang Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster. Tim ini bertugas untuk memeriksa kelengkapan dokumen yang diajukan oleh perusahaan calon eksportir benih lobster atau benur.
Edhy menunjuk staf khususnya: APM dan SAF sebagai ketua dan wakil ketua tim uji tuntas tersebut.
"Selanjutnya pada awal bulan Oktober 2020, SJT selaku Direktur PT DPPP datang ke kantor KKP di lantai 16 dan bertemu dengan SAF. Dalam pertemuan tersebut, diketahui bahwa untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800/ekor," jelas Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango.
Atas kegiatan ekspor benih lobster tersebut, PT DPPP diduga melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total sekitar Rp731 juta.
Atas uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster tersebut, selanjutnya ditarik dan masuk ke rekening dua orang pemegang PT ACK masing-masing dengan total Rp9,8 miliar.
"Pada tanggal 5 November 2020, diduga terdapat transfer dari rekening pengurus PT ACK ke rekening salah satu bank atas nama AF (staf istri Menteri Edhy) sebesar Rp 3,4 miliar yang diperuntukkan bagi keperluan Menteri Edhy dan istrinya, serta ketua dan wakil ketua tim uji tuntas (SAF dan APM)," kata Wakil Ketua KPK Nawawi.
"Pada sekitar bulan Mei 2020, Menteri Edhy diduga juga menerima sejumlah uang sebesar US$ 100.000 dari SJT melalui pengurus PT ACK," tambahnya.
"KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara terkait dengan perizinan tambak, usaha dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020," jelas Nawawi.(BBC/bh/sya)