JAKARTA, Berita HUKUM - Enam tahun masa jabatan bagi kepala desa sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) dinilai Paguyuban Kepala Desa Se-Kabupaten Sidoarjo melanggar hak konstitusional yang dijamin UUD 1945. Hal ini terungkap dalam persidangan perkara dengan Nomor 133/PUU-XI/2014 yang digelar pada Senin (15/12) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pokok permohonannya, para pemohon yang diwakili oleh Moch. Supriyadi dan Koirun Nasirin, menjelaskan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya dua pasal dalam UU Desa, yakni Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 39 ayat (2). Pasal 39 ayat (1) UU Desa menyatakan “Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan”. Sementara Pasal 39 ayat (2) UU Desa menyatakan “Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut”.
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU Desa yang pada intinya mengatur masa jabatan Kepala Desa, secara nyata telah menunjukkan pertentangannya dengan hak istimewa yang dimiliki tiap daerah untuk menjunjung adat setempat. Masa jabatan 6 (enam) tahun dan dapat dipilih untuk tiga periode masa jabatan kurang tepat. “Hal ini karena masa jabatan 6 (enam) tahun sebenarnya belum cukup bagi Kepala Desa untuk memaksimalkan program kerja dan visi misinya. Apalagi dengan diperbolehkan menjabat selama tiga periode, akan menghambat kaderisasi kepemimpinan di tingkat Desa,” jelas Pemohon di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dengan anggota Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Muhammad Alim.
Pemohon menjelaskan masa jabatan 6 (enam) tahun akan mendorong stabilitas politik Desa “terguncang” kembali setiap 6 (enam) tahun, karena seringkali pihak-pihak yang kalah/dirugikan “menjegal” program-program Kepala Desa terpilih. Hal ini dinilai Pemohon menghambat kelancaran penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan. Menurut Pemohon, pemilihan kepala desa yang dilakukan serentak dan ditunjuknya Pejabat kepala desa dari Pegawai Negeri Sipil berakibat hilangnya kepastian hukum sehingga akan berdampak pada dilanggarnya Hak Asasi Masyarakat, yakni pelayanan yang sama di mata hukum sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. “Untuk itu dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 39 ayat (1) dan (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyatakan perlu dilakukan legislative review oleh Pemerintah RI dan DPR RI terhadap Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU Desa,” paparnya.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim memberikan saran perbaikan. Hakim Konstitusi Muhammad Alim meminta agar pemohon memperbaiki format permohonan yang disesuaikan dengan pedoman beracara di MK. “Pemohon bisa lihat format permohonan di Kepaniteraan MK untuk memperbaiki permohonannya karena ini mungkin baru pertama kali beracara di sini,” ucap Alim.
Sementara Wahiduddin Adams menjelaskan bahwa petitum Pemohon agar MK melakukan legislative review tidak dapat dilakukan MK karena bukan menjadi kewenangan MK. Ia pun mempertanyakan keberatan pemohon terhadap masa jabatan enam tahun yang dianggap kurang, namun juga berkeberatan dengan masa jabatan tiga kali. “Ini bagaimana Pemohon berkeberatan dengan masa jabatan enam tahun karena dinilai kurang, tapi tidak boleh tiga kali menjabat? Ini harus diuraikan,” tandasnya.
Majelis hakim pun kemudian memberikan kesempatan kepada Pemohon waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya.(LuluAnjarsari/mk/bhc/sya) |