Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Gaya Hidup    
Pagelaran Tari
Matah Ati, Cerita Klasik yang Jadi Kontemporer
Sunday 24 Jun 2012 16:24:01
 

Pagelaran tari Matah Ati (Foto: Ist)
 
JAKARTA (BeritaHUKUM.com) - Mulai dari 22 Juni sampai 25 juni 2012, sebuah pagelaran tari Matah Ati digelar di Taman Ismail Marzuki. Pagelaran tari ini menderitakan kisah tentang percintaan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyowo yang menurunkan para penguasa di istana Mangkunegaran dengan Rubiyah dari desa Matah.

Di permulaan adegan, panggung dipenuhi laskar prajurit wanita Jawa abad ke 18. Adegan kemudian mengalir dari satu babak ke babak lainnya, menceritakan kedatangan Raden Mas Said ke Desa Matah, gagal menahan gempuran pasukan belanda yang jumlahnya lebih banyak, situasi pedesaan, perang besar, sampai saat sang pangeran memadu kasih dengan Rubiyah atau Matah Ati.

Pagelaran tersebut hampir seluruhnya merupakan komposisi antara tari dan musik, tanpa dialog. Hanya ketika adegan suasana desa Matah, ditampilkan adegan dengan dialog. Adegan ini serupa dengan goro-goro pada pada pagelaran wayang kulit yang berisi dengan dialog atau canda beberapa tokoh. Di dalamnya, sang sutrada, Atilah Soeryadjaya memasukkan berbagai polemik modern negeri ini sebagai perekat antara adegan dengan penonton.

"Saya tidak sanggup kalau menangkap tikus zaman sekarang. Takut. Wong tikus itu makannya aspal dan beton, tembok dan pondasi, sampe makan wisma," kelakar salah satu tokoh.

Suasana kontemporer dari cerita klasik dipertegas oleh musik pengiring gubahan Blacius Subono. Meski denting gamelan masih mendominasi keseluruhan pertunjukan, suara gesek biola, dengung saksofon, maupun tabuhan snare tersengar di sela-selanya.

Akhirnya, Matah Ati cerita cinta sekaligus sejarah tentang asal-usul perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 silam ini mencoba mengeksiskan budaya tradisionil Indonesia dalam balutan yang lebih mudah diterima masyarakat sekarang. Walaupun, mesti dikatakan sebagian besar penikmat pertunjukan ini adalah dari kalangan menengah ke atas, ketimbang lapisan masyarakat lain yang lebih luas.(bhc/nto)



 
   Berita Terkait > Pagelaran Tari
 
  Matah Ati, Cerita Klasik yang Jadi Kontemporer
 
ads1

  Berita Utama
Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

Istana Dukung Kejagung Bersih-bersih di Pertamina: Akan Ada Kekagetan

Megawati Soekarnoputri: Kepala Daerah dari PDI Perjuangan Tunda Dulu Retreat di Magelang

Usai Resmi Ditahan, Hasto Minta KPK Periksa Keluarga Jokowi

 

ads2

  Berita Terkini
 
BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

10 Ribu Buruh Sritex Kena PHK, Mintarsih Ungkap Mental Masyarakat Terguncang

Anak 'Crazy Rich' Alam Sutera Pelaku Penganiayaan, Sudah Tersangka Tapi Belum Ditahan

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2