JAKARTA (BeritaHUKUM.com) - Mulai dari 22 Juni sampai 25 juni 2012, sebuah pagelaran tari Matah Ati digelar di Taman Ismail Marzuki. Pagelaran tari ini menderitakan kisah tentang percintaan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyowo yang menurunkan para penguasa di istana Mangkunegaran dengan Rubiyah dari desa Matah.
Di permulaan adegan, panggung dipenuhi laskar prajurit wanita Jawa abad ke 18. Adegan kemudian mengalir dari satu babak ke babak lainnya, menceritakan kedatangan Raden Mas Said ke Desa Matah, gagal menahan gempuran pasukan belanda yang jumlahnya lebih banyak, situasi pedesaan, perang besar, sampai saat sang pangeran memadu kasih dengan Rubiyah atau Matah Ati.
Pagelaran tersebut hampir seluruhnya merupakan komposisi antara tari dan musik, tanpa dialog. Hanya ketika adegan suasana desa Matah, ditampilkan adegan dengan dialog. Adegan ini serupa dengan goro-goro pada pada pagelaran wayang kulit yang berisi dengan dialog atau canda beberapa tokoh. Di dalamnya, sang sutrada, Atilah Soeryadjaya memasukkan berbagai polemik modern negeri ini sebagai perekat antara adegan dengan penonton.
"Saya tidak sanggup kalau menangkap tikus zaman sekarang. Takut. Wong tikus itu makannya aspal dan beton, tembok dan pondasi, sampe makan wisma," kelakar salah satu tokoh.
Suasana kontemporer dari cerita klasik dipertegas oleh musik pengiring gubahan Blacius Subono. Meski denting gamelan masih mendominasi keseluruhan pertunjukan, suara gesek biola, dengung saksofon, maupun tabuhan snare tersengar di sela-selanya.
Akhirnya, Matah Ati cerita cinta sekaligus sejarah tentang asal-usul perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 silam ini mencoba mengeksiskan budaya tradisionil Indonesia dalam balutan yang lebih mudah diterima masyarakat sekarang. Walaupun, mesti dikatakan sebagian besar penikmat pertunjukan ini adalah dari kalangan menengah ke atas, ketimbang lapisan masyarakat lain yang lebih luas.(bhc/nto)
|