JAKARTA-Peristiwa berdarah penyerbuan kantor sekretariat Partai Demokrasi Indonesia (PDI-cikal bakal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/PDIP) yang dikenal dengan Kasus 27 Juli 1996 atau Kudatuli, sepertinya telah dilupakan petinggi partai tersebut. Hal ini juga diperlihatkan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri.
Mega lebih memilih menghadiri rapat kerja nasional (Rakenas) PDIP di Manado, Sulawesi Utara (Sulut) ketimbang datang dalam acara yang sempat melambungkan nama partai serta figurnya itu sebagai pihak teraniaya sebuah rezim. Padahal, spanduk penyambutannya sangat mencolok terpasang di depan pagar gedung bekas sekretariat partai yang berada di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/7).
Menurut Ketua Panitia Peringatan Tragedi 27 Juli Tahun 2011, Noldy Manengkey, pihaknya sudah menghubungi Megawati untuk hadir. Yang bersangkutan pun menyatakan siap untuk datang pada acara tersebut. Kabar gembira ini disampaikan pihak Sekretariat PDIP. Namun, acara ini selesai, Mega tidak juga hadir. “Kami tidak tahu, apa pertimbangan beliau tak mau hadir,” tandasnya.
Untuk menyemarakan acara, spanduk yang berukuran besar itu memperlihatkan foto-foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang masih menggunakan baret merah, para korban Kudatulis dan tulisan besar: “Lawan Rezim Pembohong, Apapun Taruhannya.”
Meski tak dihadiri pengurus serta tokoh partai tersebut, acara peringatan ini tetap dilangsungkan. Justru tokoh yang dikenal vokal dan berani pada saat rezin Soeharto, Sri Bintang Pamungkas malah datang dan sempat memberikan orasi di atas panggung yang disediakan. Selanjutnya, orasi disampaikan sejumlah aktivis untuk menyemarakan acara itu.
Begitu memasuki sore, massa yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kerukunan (FKK) 124 berjalan menuju mimbar orasi. Lalu, mereka membakar spanduk tepat di foto Presiden SBY dan foto para korban. Sebelum spanduk habis terbakar, aparat kepolisian turun memadamkan api. Spanduk yang sudah separuh terbakar selanjutnya diamankan polisi.
Sebelum membakar spanduk, aksi tersebut diwarnai dengan puluhan miniatur nisan berukuran satu telapak tangan bayi yang terbuat dari kertas. Pada nisan itu tertulis berbagai daftar pelanggaran HAM, kekerasan dan penculikan selama Orde Baru. Para korban 27 Juli yang masih hidup terlihat menebar bunga di atas nisan tersebut sebagai tanda duka.(irw)
|