JAKARTA, Berita HUKUM - Sejarah sering membicarakan peristiwa masa lampau. Sebagai disiplin ilmu yang berfungsi untuk melacak kebenaran peristiwa yang terjadi di masa lalu, sejarah harus diungkapkan secara jujur dan apa adanya. Selain itu, rekaman peristiwa sejarah yang terjadi tidak mungkin tunggal atau terpisah dengan peristiwa yang lain, melainkan tersusun berdasarkan urutan kronologis. Contohnya sejarah kebangkitan nasional.
"Dalam sejarah kebangkitan nasional ada banyak peristiwa seperti perang gerilya, di Muhammadiyah ada Askar Perang Sabil, kemudian di Surabaya ada 10 November dalam satu rangkaian yang panjang, itu dia punya hukumnya sendiri sebagai sesuatu yang objektif yang terjadi relasi aktor perannya serta konteksnya itu pasti tidak tunggal," kata Haedar Nashir dalam acara Kongres Sejarawan Muhammadiyah pada Sabtu (27/11).
Sebelum terjadi peristiwa Pertempuran Surabaya 10 November 1945, semuanya bermula dari 9 September 1945 ketika lahir gerakan revolusi kawula muda yang dipimpin Bung Tomo. Sebelum mencapai puncaknya, beberapa kalangan turut berkontribusi dalam menyalakan api revolusi dan menentang penjajahan, termasuk dari kalangan umat Islam seperti Muhammadiyah yang melibatkan Mas Mansur hingga dirinya dipenjara, Nahdlatul Ulama dengan Resolusi Jihad KH. Hasyim Asyari, dan lain-lain.
Karenanya, sejarah kebangkitan nasional tidak terjadi sebagai peristiwa tunggal melainkan banyak faktor yang terlibat langsung di dalamnya. Haedar tidak setuju bila satu peristiwa sejarah sebagai satu-satunya pemicu revolusi 10 November, padahal dalam kenyataannya sangat kompleks. Karena hal tersebut akan menafikan peran elemen-elemen pergerakan lain di Surabaya pada waktu itu.
"Sering kita ketika berbicara sejarah yang terjadi adalah simplifikasi. Hanya satu peristiwa, hanya satu aktor. Apalagi ketika masuk konstruksi politik itu tergantung siapa pemenang politik di suatu rezim, dia yang akan mengkonstruksi tunggal," kata Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Karenanya, sejarah harus dibuktikan dengan mengikuti kaidah-kaidah ilmu pengetahuan tanpa dilatari bias politik dan kepentingan individu atau kelompok. Sebab masyarakat yang pasif mungkin tidak pernah tahu bias tersebut, sehingga seringkali pandangan akademisi yang telah mengkaji sejarah sejalan dengan kaidah-kaidah objektif-ilmiah dikalahkan oleh keputusan penguasa.
"berebut tafsir sejarah tidak masalah sejauh bisa dipertanggungjawabkan, objektif ilmiah, dan mengikuti kaidah-kaidah ilmu pengetahuan yang selalu punya sifat dialogis dan keterbukaan. Tapi sering kita mandeg ketika dihadapkan dengan politik dan kekuasaan, sehingga di situ kita buntu karena terkunci oleh keputusan," ujar Haedar.
"Kepenting-kepentingan politik seringkali terjadi dusta akan sejarah atau pendustaan terhadap sejarah, atau mungkin bisa juga bisa dibilang konstruksi sepihak yang sebenarnya tidak boleh terjadi, karena sekali bisa dilakukan oleh otoritas manapun, itu sejarha tidak bisa dimanipulasi, suatu saat otoritas itu akan rekonstruksi oleh otoritas yang lain," tegas Pria Kelahiran Bandung, Jawa Barat, 25 Februari 1958 ini.(muhammadiyah/bh/sya) |