JAKARTA, Berita HUKUM - Paket kebijakan ekonomi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) - Jusuf Kalla yang berorientasi kepada Nawacita, menurut Muhammad Nadrattuzaman Hosen Wakil Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dalam kajian ekonomi Muhammadiyah pekan ini, "Telah terciderai dengan deregulasi yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan" paparnya, berdasarkan rilis yang diterima pewarta BeritaHUKUM.com dari Bidang Informasi dan Komunikasi PP Muhammadiyah, Jakarta, Senin (2/11).
Muhammad Nadrattuzaman Hosen mengatakan, "Hal ini tercermin dengan 9 paket kebijakan peraturan menteri perdagangan (Permendag). Dinilai sangat liberal dan sarat kepentingan importir," ungkapnya.
Wakil Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah mensinyalir bahwa, pemahaman deregulasi Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Lembong melakukan liberalisasi. "Jelas sekali jika Mendag tidak memahami paket kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi yang dikeluarkan hingga jilid V," jelasnya.
Deregulasi yang semestinya harus dikeluarkan oleh Mendag, kata Nadrattuzaman seharunya mendorong akselerasi eksportir untuk tumbuh dan berkembang. Diantaranya adalah, pemberian insentif-insentif bagi pelaku usaha berbasis ekspor," imbuhnya lagi. Hingga akan berpengaruh besar signifikan bagi keseimbangan neraca perdagangan nasional.
Selama ini justru secara Makro Ekonomi, neraca perdagangan nasional lebih besar impor dari pada ekspor dampaknya adalah terhadap nilai mata uang rupiah sebagai alat pembayaran semakin tertekan. “Jika Mendag berorientasi terhadap liberalisasi dengan memperbesar impor apa artinya kebijakan Jokowi yang berharap agar nilai rupiah bisa stabil. Ini sangat jelas Mendag keluar dari Nawacita,” tegas Nadra, Senin (2/11)..
Lebih lanjut, ekonom Muhammadiyah tersebut mengatakan, jika Mendag memperbesar kebijakan terhadap ekspor dan mengurangi ketergantungan terhadap impor justru Mendag Thomas Lembong pro terhadap rakyat. Dengan memberikan insentif ekspor Thomas Lembong membuka lebar-lebar penyerapan tenaga kerja diberbagai sektor yang saat ini dibutuhkan oleh masyarakat. Sebaliknya dengan kebijakan impor yang di buatnya dalam 9 paket kebijakan Mendag melakukan pengurangan terhadap penyerapan tenaga kerja. Hal itu akan memberikan kerawanan-kerawanan terhadap masalah sosial dan bisa juga mengakibatkan terjadinya “suhu pendek”. “Maka dari itu Muhammadiyah meminta pemerintah untuk mengevaluasi kembali paket kebijakan ekonomi khususnya deregulasi yang dikeluarkan oleh Mendag,” ucapnya.
Dalam kajian ekonomi yang dilakukan oleh MEK PP Muhammadiyah, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 87 Tahun 2015 tentang Ketentuan Produk Impor Tertentu. Regulasi ini berpihak kepada importir umum pemegang Angka Pengenal Importir Umum (AP-U).
"Di kebijakan tersebut Importir cukup memiliki tempat dan gudang sudah bisa langsung berdagang secara langsung di Indonesia. Hal ini tak banyak penyerapan tenaga kerja," ungkapnya.
Wakil ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah turut menelisik dari Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71/M-DAG/PER/9/2015 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 75/M-DAG/PER/9/2015 tentang Pencabutan Atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 528/MPP/KEP/7/2002 tentang ketentuan Impor cengkeh. Berdasarkan kajiannya jelas tidak berpihak kepada para petani.
Lalu kemudian Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 78/M-DAG/PER/9/2015 tentang Pencabutan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45/M-DAG/PER/6/2015 tentang Ketentuan Impor Ban, Menurut perspektif Muhammad Nadrattuzaman Hosen , "Akan menggusur perusahaan dalam negeri yang selama ini mengembangkan industri ban. Padahal selama ini memiliki kemiteraan dengan perkebunan karet di Indonesia," jelasnya.
“Maka dari itu kami berharap kebijakan-kebijakan deregulasi Mendag perlu dievaluasi lagi, serta DPR-RI harus sensitif terhadap kebijakan yang tidak pro rakyat tersebut,” tandasnya.(rls/bh/mnd) |