TRIPOLI (BeritaHUKUM.com) – Pakta Pertahanan Atlantik Utara (Nato) akan mengumumkan secara resmi dihentikannya operasi militer di Libya pada Senin (31/10) tengah malam waktu Libya. Hal ini menyusul hasil pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB pada pekan lalu, yang menginginkan dihentikannya operasi militer selama tujuh bulan itu.
Sekjen Nato Anders Fogh Rasmussen mengatakan, operasi militer di Libya telah berhasil mencegah terjadinya pembantaian dan menyelamatkan ribuan nyawa tak berdosa. "Kami telah menciptakan kondisi terbaik bagi rakyat Libya untuk menentukan masa depannya," kata Rasmussen, seperti diberitakan laman BBC.
Rasmussen menganggap operasi militer dengan sandi Operation Unified Protector itu sebagai salah satu operasi militer paling sukses sepanjang sejarah Nato. Operasi militer ini resmi dilakukan pada 19 Maret 2011, ketika pasukan prokhadafi itu sudah mendekati Benghazi yang dikuasai oposisi.
Dengan bantuan peralatan militer Amerika Serikat, Nato berhasil menjalankan misinya di Libya. Secara total, pesawat-pesawat tempur NATO melakukan 26.000 kali sorti, termasuk 10.000 serangan udara. Hasil operasi militer ini telah menghancurkan lebih dari 1.000 tank, kendaraan tempur dan persenjataan berat milik pasukan loyalis Khadafi.
Namun, pemerintahan Dewan Transisi Nasional Libya (NTC) masih menginginkan keberadaan Nato membantu pengamanan negara tersebut, meski Dewan Keamanan PBB juga sudah memutuskan mencabut mandatnya. Utusan Libya di PBB mengatakan, NTC membutuhkan waktu lebih banyak untuk membangun sarana keamanannya.
Namun, para diplomat PBB mengatakan, mandat untuk melindungi warga sipil sudah dilaksanakan, sehingga untuk bantuan keamanan lanjutan harus dibicarakan secara terpisah. Tapi satu kelompok kecil penasihat militer akan tetap berada di Libya untuk membantu NTC. (bbc/sya)
|