Oleh: Jansen Sitindaon
MENGAPA SAYA katakan opera? Ada sabun nya lagi. Jadi "berbuih-buih".
Bukankah "fiksi" kalau mobil seorang Presiden rusak? Mobil seorang Presiden mogok. Kalau kemudian betul-betul mogok? Ya tetap fiksi.
Manalah mungkin ada orang percaya kalau mobil seorang Presiden mogok. Itu sama saja dengan cerita: Presiden kelaparan. Atau Presiden tidurnya kepanasan karena AC-nya rusak. Adakah yang percaya? Kalau ada yang percaya, berarti pengelolaan Negara ini telah rusak.
Bukankah rusak namanya? Benda mati seperti mobil yang gampang ngurusnya saja tidak bisa diurus. Terus bagaimana dong nasib kita manusia hidup yang tinggal di Indonesia ini? Yang ngurusnya jelas lebih sulit dibanding sekedar mobil yang benda mati.
Untuk itulah saya sengaja memaksa diri untuk tidak percaya hal tersebut.
Apalagi mogoknya mobil Presiden ini terlalu sering. Dari ban kempes ketika ke Hambalang Bogorlah. Mogok ketika di Ponorogo menuju Magetan. Yang terbaru mesin rusak ketika di Mempawah Kalimantan Barat, dll.
Saya anggap itu fiksi!
Karena kalau saya percaya. Berarti kita telah merendahkan Presiden Jokowi sendiri. Ngurus mobil saja dia tidak mampu. Apalagi ngurus bangsa yang besar ini. Di mana begitu banyak manusia hidup di dalamnya. Yang berdasarkan konstitusi, dialah yang bertanggung jawab untuk mengurusnya.
Menurut saya, dari sisi mana pun, rusak atau mogoknya mobil Presiden ini harusnya tidak diberitakan. Apalagi secara masif dan luas. Ditambahi suara dari juru bicara dan rumah tangga Kepresidenan lagi. Hanya menunjukkan ngurus mobil saja Presiden tidak mampu. Padahal anggaran lembaga Kepresidenan tiap tahunnya triliunan rupiah. Sehingga sebenarnya kalau sekadar "uang" untuk ganti oli, servis mesin dan ganti ban rutin ada dan tersedia untuk itu.
Diberitakannya hal sejenis ini, juga akan mengancam keselamatan Presiden sendiri. Karena menunjukkan kepada masyarakat luas, yang pasti ada saja yang tidak suka dengannya, bahwa keamanan Presiden lemah dan gampang diserang.
Apakah Presiden sengaja menunjukkan "kelemahannya" ini? Kalau iya, apa alasannya?
Tentu itulah pertanyaan yang kemudian timbul. Jangankan Presiden, kita saja yang bukan "siapa-siapa" ini, menjaga betul agar kelemahan kita tidak diketahui publik. Apalagi Presiden. Sosok yang seharusnya wajib terlihat kuat, tangguh dan sehat di hadapan rakyat. Untuk itulah Negara telah menyiapkan segalanya untuk dia. Mulai dari Dokter Presiden, Pengawal Presiden, Pesawat Presiden, dan pasti juga "Montir Presiden". Atau bengkel khusus untuk merawat mobil-mobil Kepresidenan.
Adakah Presiden sedang mencari simpati dan dukungan dari masyarakat untuk diizinkan membeli mobil baru? Dan jalannya adalah dengan mempertontonkan rusak dan mogoknya mobilnya ini?
Kental terasa ini yang akan terjadi. Presiden sedang membangun narasi keabsahan bahwa pembelian mobil ini sekarang sebuah keharusan. Dia sedang menyiapkan "tameng" agar tidak dicemooh rakyat ketika nantinya betul membeli mobil baru ditengah ekonomi susah ini. Presiden sedang memainkan "akal bulus" politik. Politik licik. Di satu sisi mempertontonkan mobil rusak. Di sisi lain menterinya berencana mengadakan mobil baru. Tapi Presiden terus menolak diadakannya mobil tersebut. Namun ujungnya, mari kita bertaruh, akan datang mobil baru.
Saya pribadi sih senang Presiden Jokowi akan membeli mobil baru. Dan bahkan sangat menunggu moment ini. Alasannya. Saya ingin melihat Presiden Jokowi menggunakan mobil ESEMKA sebagai kendaraan dinasnya. Sebuah mobil yang sangat identik dengan dirinya. Sebuah mobil yang tidak bisa lepas dari namanya. Sebuah mobil yang saling "bersimbiosis mutualisme" dengan dirinya.
Karena Jokowi, mobil Esemka menjadi sangat terkenal. Bagi Jokowi, karena Esemka, namanya ikut "terkerek" naik di hadapan publik. Esemka berkontribusi mengantarkannya (dulu) ke kursi DKI 1.
Ketika saat ini telah menjadi Presiden pun, nama Esemka tidak bisa lepas dari Jokowi. Kalau ketika menjadi Walikota Solo, dulu, dia berani menjadikan Esemka menjadi mobil dinas, mengapa saat ini tidak? Toh ratusan Paspampres di setiap kegiataan dan kesempatan akan selalu setia mengawal dirinya selaku Presiden.
Inilah kesempatan Jokowi untuk membuktikan bahwa Esemka adalah mobil karya anak bangsa yang sangat monumental. harus didukung Negara. Seperti ucapannya dulu.
Jangan nanti mobil Presiden yang baru diadakan, ujungnya tetap produk luar negeri kembali. Semacam Mercy S 600 Guard versi terbaru atau BMW 760Li High Securiy. Atau berbagai tipe mobil berkeamanan tinggi lain, produksi luar negeri.
Kalau ini terjadi, apapun alasan nya, baik karena mobil sekarang sering mogok, atau alasan lain yang lebih masuk di akal, rakyat pasti menolak.
Esemka adalah jawabannya. Mari kita lihat keberanian Presiden Jokowi menjadikan Esemka "kebanggaannya" menjadi kendaraan dinasnya. Karena sebagai Presiden, Jokowi sering mempresepsikan diri sebagai Presiden yang berani. Selalu "out of the box". Dan akan memprioritaskan menggunakan produk lokal buatan anak negeri dibanding asing.
Akankah Esemka akan masuk garasi istana? Mari kita tunggu.
Satu lagi hal yang mengemuka terkait isu mogoknya mobil Presiden adalah dikaitkannya masalah ini dengan Mantan Kepala Negara, Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono.
Ada 2 (dua) persoalan terkait hal ini:
Pertama, seakan mobil Presiden Jokowi mogok karena mobil lebih baik dibawa mantan Kepala Negara SBY.
Kedua, Mantan Kepala Negara SBY "menguasai" dan menggunakan mobil VVIP secara ilegal dan melanggar hukum.
Baru saja, tepatnya Kamis 9 Maret 2017, Presiden Jokowi bertemu dengan Presiden ke-6 SBY di istana. Situasi baru saja sejuk ini kembali dibuat panas dan kisruh karena pernyataan seorang Darmansjah Djumala ("Djumala") selaku Kepala Sekretariat Presiden.
Sebagai Kepala Sekretariat Presiden, Djumala telah "sesat pikir". Membangun argumentasi yang invalid dari premis yang tidak logis. Melepas kalimat deklaratif ke publik dengan mengatakan: "satu mobil dinas presiden masih dipinjam Presiden ke-6 RI, SBY".
Seakan inilah penyebab mogoknya mobil Presiden. Padahal. Jelas hal ini tidak ada hubungannya dengan rusaknya mobil Jokowi di Mempawah, Kalbar.
Aksi Djumala ini terkualifikasi tak bermoral. Membangun opini publik yang bertujuan membunuh karakter SBY.
Terkait masalah mobil mogok ini, harusnya yang disorot Djumala adalah pemeliharaannya. Rutin tidak? Sempurna tidak semua pemeriksaannya sebelum dipakai? Bukan malah melarikan isu ke masalah "peminjaman mobil". Yang kalau mengikuti istilah Djumala di atas juga jelas-jelas keliru. Karena mobil tersebut diserahkan oleh Setneg kepada SBY untuk dipakai sementara. Sampai yang "defenitif" diadakan Negara khusus untuk itu.
Ini namanya Istana melalui Djumala membuat perkara baru. Kembali membuat kisruh dan onar ruang publik.
Apakah yang dikehendaki Presiden Jokowi melalui pernyataan Djumala ini memang kembali lahirnya caci maki, tuduhan negatif yang kejam (negative accusation) yang mengarah fitnah (slander) kepada Presiden SBY? Seperti yang sejak tadi malam telah ramai di media sosial?
Kalau jawabannya tidak. Istana harus segera bertindak memberikan klarifikasi; meluruskan hal ini. Dan secepatnya menjatuhkan sanksi kepada Djumala selaku Kepala Sekretariat Presiden. Kalau dibiarkan, Presiden Jokowi dapat disimpulkan merestui tindakan Djumala.
"Mobil Mercy S 600 Guard yang mogok saat dipakai Presiden Joko Widodo di Mempawah kemarin merupakan buatan tahun 2007", demikian kata Djumala ke media.
Hal ini berarti sama dengan yang dipakai Pak SBY juga. Dapat dilihat dari sms klarifikasi beliau tadi malam pukul 22.00, di point 3 berbunyi: "...karenanya, ketika setelah 20 Oktober 2014 dulu, mobil yang telah 7 tahun saya gunakan itu diantar & diserahkan ke rumah saya."
Dari kalimat di atas: "setelah 2014, mobil itu telah 7 tahun saya pakai". Berarti mobil tersebut di pakai pertama kali tahun 2007.
Inilah fakta. Mobil yang dipakai oleh pak SBY tidaklah lebih baik. Atau tahunnya lebih muda dari yang dipakai oleh Presiden Jokowi. Mobil tersebut sama-sama tahun pembuatan 2007. Jadi tidak benar asumsi atau tuduhan yang menyatakan, mobil yang dipakai pak SBY "tahunnya lebih muda" sehingga lebih baik dari yang dipakai oleh Presiden Jokowi.
Mobil tersebutpun pun kini gampang rusak. Sebagaimana juga disampaikan Pak SBY di point 4 klarifikasinya: "… terakhir kali saya naiki bulan September 2016 (6 bulan yang lalu) & waktu itu baru saya gunakan sekitar 20 menit langsung rusak. Mobil tersebut kini berusia 10 tahun & mudah sekali mengalami gangguan..". Apalagi perawatan mobil ini tentu tidak seintens dan seterjadwal mobil milik Presiden Jokowi yang sedang menjabat.
Terkait "penguasaan" dan penggunaan mobil Mercy S 600 Guard tersebut oleh Pak SBY, apakah ilegal dan melanggar hukum? Ini juga menjadi isu yang memojokkan Pak SBY.
Di sinilah satu lagi sesat pikirnya Djumala selaku Kepala Sekretariat Presiden. Bukankah harusnya Djumala merujuk setiap pernyataannya kepada UU No.7 Tahun 1978? UU yang sudah "sangat tua". Telah berlaku 39 tahun!
Sebagai pegawai senior di Sekretariat Negara, Djumala harusnya paham dan menguasai betul UU ini. UU ini telah berlaku untuk 5 mantan kepala negara. Mulai mantan Kepala Negara Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY.
Pasal 8 huruf (b) UU No.7/1978 ini imperatif menyatakan, bahwa kepada bekas (mantan) Presiden yang berhenti dengan hormat dari jabatannya masing-masing:
(b). disediakan sebuah kendaraan milik Negara dengan pengemudinya.
Terkait perintah Pasal 8 huruf (b) di atas, sudahkah pemerintah hari ini cq. Presiden Jokowi menjalankan kewajibannya kepada mantan Presiden SBY? Jawab dulu pertanyaan ini secara tuntas. Baru masuk ke hal lain.
Dari keterangan Djumala, seakan pemerintah telah menyerahkan sebuah kendaraan beserta pengemudinya sesuai perintah UU No.7/1978 kepada Pak SBY. Kemudian Pak SBY masih juga "menguasai" mobil Mercy S 600 yang dulu menjadi mobil dinasnya. Apakah faktanya demikian? Kan tidak!
Kalau itu yang terjadi, layaklah Pak SBY disalahkan. Namun faktanya tidak. Bahkan nama SBY menjadi dicemarkan. Sudah selayaknya Pemerintah meminta maaf kepada mantan Kepala Negara SBY.
Karena saat ini, pemerintah cq. Setneg bahkan baru akan mengajukan anggaran untuk memenuhi "kewajiban negara" tersebut kepada Presiden ke-6 SBY. Sambil menunggu direalisasikannya kewajiban inilah, Mercy S 600 tersebut, sementara "statusnya" diserahkan untuk dipakai Pak SBY. Sambil menunggu disediakannya yang defenitif untuk itu.
Mobil ini pun tidak akan menjadi milik Pak SBY atau mantan kepala negara lainnya yang menerima hak serupa. Sebab, sesuai UU, statusnya memang tetap menjadi milik Negara.
Dengan keadaan ini. Harusnya mobil Mercy S 600 ini tidak perlu sampai dipolemikkan di ruang publik oleh pihak Istana melalui Kepala Sekretariat Presiden. Apalagi sampai menarik-narik Pak SBY terkait mogoknya mobil Presiden Jokowi di Mempawa.
Presiden melalui jajaran administatur pemerintahannya juga harus berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan ke media. Pandai-pandailah memilah dan memilih bahasa. Jangan hal yang tidak relevan dikait-kaitkan. Sesat pikir namanya itu. Berisiko fitnah dan mencemarkan nama baik orang.
Jangan karena ingin mendapatkan simpati, atau ingin mendapatkan dukungan publik ketika melakukan pengadaan mobil baru, strateginya malah bermain politik licik dengan mengorbankan pihak lain.
Hubungan baik dan teduh yang telah terajut baik selama dua (2) minggu ini harusnya tetap terus dijaga. Bukan malah menciptakan bumbu-bumbu polemik baru.
Fasilitas kendaraan bagi mantan Kepala Negara adalah "hak" yang diatur Undang-Undang. Pak Jokowi ketika nanti menjadi mantan Kepala Negara pun akan menerima hal sama.
Kalau memang pemerintahan hari ini tidak siap atau tidak berkenan menyediakannya, silakan ubah UU nya. Selama UU itu belum berubah, itu adalah hak semua mantan Kepala Negara dan wakilnya. Tidak terkecuali Presiden RI ke-6 SBY.
Ketimbang Pak Jokowi dan jajaran administatur pemerintahan sibuk berbicara dan mengurusi persoalan mobil bertedensi "kemewahan" ini, lebih baik pemerintah segera responsif menyikapi wafatnya Ibu Patmi. Petani Desa Kendeng itu menolak dibangunnya pabrik semen di wilayahnya. Kasihan para pejuang aksi "cor kaki" ini . Suaranya seolah diacuhkan Presiden yang berasal dari wilayah sama dengan mereka, Jawa Tengah. Mogok mereka inilah yang harusnya diperhatikan. Bukan malah mogoknya mobil Presiden.
Sebagai penutup.
Lihatlah kondisi daerah yang akan dikunjungi. Tidak semua medan di Indonesia cocok dan bisa dilalui hanya dengan "satu" jenis mobil. Kalau kunjungannya ke gunung-gunung, ya baiknya janganlah naik sedan. Naiklah mobil yang cocok untuk medan sejenis itu. Mobil Mercy S 600 Guard memang kebal hantaman peluru sekelas M16 dan Kalashnikov AK-47. Namun dia tidak kebal dengan jalan tanjakan dan berlubang.
Karena jarang dirawat atau salah rawat, semoga negara ini tidak ikut "mogok". Seperti mogoknya mobil kepresidenan. Apalagi kalau sampai pesawat kepresiden yang mogok di udara. Tentulah sangat berbahaya..
Penulis adalah Ketua Departemen Urusan DPR DPP-PD/Dewan Pakar Jaringan Nusantara.(pd/bh/sya) |